SEMULA saya ragu kebenaran isi medsos ini: begitu banyak IGD rumah sakit yang tutup di Surabaya. Lalu medsos itu saya konfirmasi ke IDI Surabaya: benar adanya.
Lihatlah daftar di bawah ini:
RSUD Soewandhie
RS William Booth
RSI Jemursari
RSI A. Yani
RSUD Husada Prima
Lantas muncul berita program terobosan. Akan dibangun rumah sakit darurat di halaman RSUD dr Soetomo –yang terbesar di Jawa Timur. Pun di lapangan olahraga hoki. Yang letaknya di seberang rumah sakit itu.
Secara teknis ide terobosan itu baik. Mobilisasi tenaga dan peralatan medis lebih mudah. Lebih masuk akal. Lokasi itu masih di satu kompleks rumah sakit.
"Tapi ini bukan hanya soal jumlah tempat tidur," ujar dr Brahmana, ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya.
Itu juga menyangkut kecukupan tenaga medis. Jumlah dokter yang terkena Covid-19 sangat banyak.
Sampai tadi malam angkanya mengerikan. Dokter yang sedang terpapar 196 orang. Sebagian besar isolasi mandiri: 146 orang. Yang 50 orang lagi sedang dirawat di rumah sakit.
Tenaga medis lain juga tidak sedikit yang terkena Covid-19. Pun pengaruhnya sampai kamar mayat –kalau sopir ambulans pun terpapar.
"Semoga PPKM Darurat kali ini efektif," ujar Brahmana. Kalau tidak, maka ibarat ngepel lantai di rumah yang atapnya bocor.
Menambah jumlah tempat tidur darurat bisa diadakan. Tapi dapat tenaga medis dari mana?
Selama ini ada tenaga darurat. Para dokter yang lagi melanjutkan kuliah spesialis diperbantukan di garis depan. Di rumah-rumah sakit tipe A. Yang juga menjadi rumah sakit pendidikan.
Tapi rumah sakit di bawah tipe A tidak akan mendapat bantuan seperti itu
Di RSUD dr Soetomo Surabaya, misalnya, sekarang ini ada sekitar 1.200 calon dokter spesialis berada di garis depan penanganan Covid-19. Demikian juga di rumah sakit seperti dr Sardjito, Yogyakarta.
Mereka itu sekarang ini menjadi tenaga penting. Sekaligus berisiko. Pun masih pula harus membayar uang kuliah –yang mahal itu.
Maka sudah sewajarnya uang kuliah mereka itu dibebaskan. Setidaknya selama Covid-19 ini.
"Dulu pernah dibebaskan. Tapi hanya satu semester. Sekarang sudah harus membayar lagi," ujar dr Jagadito, lulusan Universitas Airlangga yang lagi mengambil spesialis jantung di Universitas Gadjah Mada/RSUP dr Sardjito Yogyakarta.
Mereka itu, ujar Jagadito, perlu biaya besar untuk menjaga diri. Agar tidak tertular virus. Mereka harus membeli berbagai vitamin dan obat.
Memang, seperti juga dokter lain, mereka mendapat tunjangan Covid: Rp 12,5 juta/bulan. Tapi mereka juga sudah tidak bisa lagi membuka praktik.
Pernah ada ide agar mahasiswa kedokteran yang belum lulus tes –tapi sudah selesai kuliah– untuk diperbantukan. Jumlahnya sangat besar. Mereka itu menunggu untuk tes ulangan. Hanya saja berisiko. Tes akhir saja belum lulus kok harus menangani pasien.
KOMENTAR ANDA