Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

DI Indonesia, vaksin Covid-19 yang digunakan ada dua macam, yaitu Sinovac dan AstraZeneca. Beberapa masyarakat berpandangan vaksin yang satu lebih baik dari lainnya.

Apakah benar demikian? Kedua vaksin itu memang dibuat dengan teknologi yang berbeda. Tapi baik Sinovac maupun AstraZeneca sudah menunjukkan efektivitasnya melawan virus.

Teknologi yang dipakai dalam membuat vaksin Sinovac adalah teknologi inactivated virus, yaitu virus utuh yang sudah dimatikan.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) metode ini terbukti manjur dan telah digunakan dalam pengembangan vaksin lain, misalnya flu dan polio.

Sementara untuk vaksin AstraZeneca sebaliknya. Bukan virus yang dimatikan, melainkan menggunakan vektor adenovirus simpanse.

Artinya, vaksin diambil dari virus yang biasa menginfeksi simpanse, kemudian dimodifikasi secara genetik untuk memincu respon imun (viral vektor).

"Vaksin Sinovac dibuat dalam jangka waktu yang lama dan kemungkinan butuh dua atau tiga dosis suntikan. Sedangkan pada viral vektor, virus akan masuk ke dalam sel tubuh dan memerintahkan untuk membuat bagian kecil virus penyebab Covid-19, yaitu protein mirip paku (spike protein)," tulis Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC).

Selanjutnya, sel tubuh akan menampilkannya agar dikenali oleh sistem imun yang kemudian menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi.

Karena metode yang berbeda, maka efikasi kedua vaksin ini juga berbeda. Sinovac menunjukkan efikasi sebesar 65,3 persen dari hasil ujicoba pada 1.600 relawan di Bandung, Jawa Barat.

Hasil efikasi lebih besar, 76 persen didapat dari ujicoba pada vaksin AstraZeneca. Bahkan produsennya menegaskan bahwa vaksin buatannya 100 persen efektif mencegah penyakit parah akibat Covid-19.

Perbedaan lainnya adalah dari sisi efek samping atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)

Sekretaris Eksekutif Indonesian Technical Advisort Group on Immunization (ITAGI) Dr dr Julitasari Sundoro, MSc-PH mengatakan, Sinovac tidak lebih berbahaya dibanding AstraZeneca.

Karena metode yang dipakai untuk membuatnya adalah menggunakan virus yang dilemahkan, maka KIPI yang terjadi usai seseorang menerima vaksin Sinovac biasanya hanya reaksi lokal, berupa pegal-pegal dibekas suntikan. Atau demam ringan.

Sebenarnya hampir sama dengan AstraZeneca. Mengutip laman GOV.UK, KIPI pada vaksin itu juga biasa saja. Hal ini berdasarkan penelitian yang memengaruhi lebih dari 1 dari 10 orang.

Efek samping AstraZeneca bisa berupa nyeri, gatal, dan rasa panas di area suntikan. Kemudian merasa tidak enak badan, menggigil/demam, sakit kepala, mual, nyeri sendi/otot, bengkak, kemerahan, benjolan di area suntikan, muntah/diare, radang tenggorokan, pilek atau batuk.

Bisa juga mengurangi nafsu makan, sakit perut, kelenjar getah bening membesar, keringat berlebih, rasa gatal/ruam.

Perbedaan terakhir adalah kelompok usia yang boleh menggunakannya. Untuk Sinovac, saat ini rentang usia 12 tahun hingga lansia (di atas 60 tahun), boleh mendapatkan vaksinasi Sinovac.

Rentang waktu pemberian dosis pertama dan kedua juga tidak terlalu jauh, yaitu 28 hari sejak penyuntikan pertama.

Sementara, BPOM baru memberikan izin penggunaan AstraZeneca pada warga dengan usia lebih dari 18 tahun dengan interval dosis kedua 4-8 minggu atau 8-12 minggu. Namun pada pelaksanaannya, dipilih interval 8 minggu untuk pemberian dosis kedua.

 




Jalani Operasi Transplantasi Hati di New Delhi, Ini Kondisi Terakhir Andi Arief dan Fazle Merah Maula

Sebelumnya

Anggota DPR Verrell Bramasta Dorong Perluasan Program Vokasi untuk Optimalkan Pemberdayaan Gen Z

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News