MASIH ada yang bisa disyukuri dari pandemi kali ini, di antaranya Covid-19 melanda di era milenial, ketika ilmu pengetahuan dan teknologi telah begitu canggih untuk head to head dengan virus mematikan ini.
Meskipun hingga detik ini angka kematian akibat Covid-19 di level dunia terdengar menyeramkan mencapai 4 juta orang dari 185 juta kasus yang terpapar, toh angka ini masih lumayan dibanding pandemi terdahulu yang pernah meremukkan daratan Eropa, yang merenggut nyawa sepertiga penduduk benua biru itu.
Dengan menarik Yudi Latief menggambarkannya pada buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi bahwa pada Oktober 1347, dua belas kapal dagang Genoa berlabuh di pelabuhan Messina, Sisilia, setelah mengarungi Laut Hitam. Banyak pelaut di kapal itu meninggal dengan sekujur tubuh bertabur gelembung hitam; membuat penyakit itu disebut ”Maut Hitam”. Otoritas Sisilia terlambat mencegah kapal itu berlabuh. Akibatnya, Benua Eropa dilanda pandemik penyakit pes yang melenyapkan sekitar satu pertiga penduduknya.
Cerita yang relatif sama dikemukakan Yusup Somadinata dalam buku 1000+ Bencana Terburuk di Dunia, Maut Hitam atau Black Death disebut juga Wabah Hitam, adalah suatu pandemik hebat yang pertama kali melanda Eropa pada pertengahan hingga akhir abad ke14 terutama tahun 1347 sampai 1351 dan membunuh sepertiga hingga dua pertiga. Maut Hitam telah merenggut sedikitnya 200 juta nyawa.
Menariknya, Al-Qur’an pernah mengingatkan dalam surat Al-Baqarah ayat 26, yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik”
Allah tidak pernah segan membuat perumpamaan nyamuk lho! Mengapa? Karena dari makhluk kecil mungil itu pun manusia dapat memetik pelajaran berharga.
Sayyid Quṭb dalam kitab Tafsir Fi Zhilalil Quran menerangkan, kemudian yang menjadi pelajaran dalam perumpamaan itu bukanlah pada fisik dan bentuk, tetapi perumpamaan itu hanya alat untuk menerangi dan membuka pandangan. Oleh karena itu, di dalam membuat perumpamaan itu tidak ada sesuatu yang tercela dan tidak perlu malu menyebutkannya. Allah hendak menguji hati dan jiwa manusia dengan perumpamaan ini.
Untuk kadar orang-orang jahiliyah yang hidup belasan abad yang lampau, nyamuk merupakan makhluk termungil yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan maupun pengetahuan mereka. Namun dalam ayat sucinya itu Allah juga menyebut famaa fauqaha, atau yang lebih kecil dari itu. Nah, bagi manusia modern, famaa fauqaha itu dapat mereka temui berupa virus dan yang sejenisnya.
Maka dari perumpamaan makhluk mungil semacam nyamuk, hingga yang tak kasat mata sejenis virus ini pula manusia terbelah pada dua golongan. Orang-orang beriman dapat melihat virus ini sebagai kebenaran dari Tuhan, yang dipetik hikmahnya, yang dipahami seluk beluk dalam menghadapinya, yang membuat manusia lebih bergiat memajukan iptek khususnya pada sektor kesehatan, yang menjadikannya lebih berserah diri pada Allah.
Adapun orang-orang kafir malah mempertanyakan keputusan Tuhan dalam membuat makhluk macam itu, banyak manusia mati oleh gigitan nyamuk, dan banyak lagi yang menemui ajalnya disebabkan virus, lantas apa gunanya diciptakan?
Itu bukan sekadar pertanyaan biasa melainkan gugatan demi menutupi keingkaran mereka terhadap kebenaran dari Tuhan. Maka pada akhir ayat ditegaskan, kesesatan pemikiran macam itu melanda mereka yang fasik, orang-orang yang mengetahui agama tetapi tidak mengamalkannya dan malah mengingkarinya.
Kini di sejumlah negara tengah digalakkan kampanye hidup berdampingan dengan virus. Manusia harus menerima keberadaannya, ya mau bagaimana lagi, meski tidak kasat mata Covid-19 itu memang nyata.
Dan dalam perspektif Al-Qur’an, virus ini hendaknya dipandang sebagai al-haqqu min rabbi; kebenaran dari Tuhan. Maksudnya, kebenaran dari Tuhan ini bukan hanya untuk diterima, melainkan juga dihadapi sebagai tantangan hidup, yang akan meningkatkan kualitas kemanusiaan dan keimanan.
Kebenaran itu membuat kita lebih cerdik, karena manusia adalah khalifah, pemimpin di muka bumi ini. Manusia perlu terus menatap ke depan, bukannya bertekuk lutut.
KOMENTAR ANDA