KHALID bin Walid menyongsong kematiannya dengan penyesalan. Harapannya menyongsong maut tidak kesampaian, bagai kasih tak sampai. Sesal itulah yang memayunginya dalam menjemput ajal.
Di masa itu kerajaan Romawi dan Persia adalah kekuatan adikusa dunia, tetapi luluh lantak diterjang pasukan muslimin dan siapa lagi panglimanya kalau bukan Khalid bin Walid.
Sepanjang karirnya sebagai jenderal Islam, setidaknya dalam 50 peperangan, satu kalipun dia tidak pernah mengalami kekalahan. Saat dirinya wafat, orang-orang menemui tak kurang 80 bekas luka di tubuhnya.
Dengan begitu, harusnya lelaki yang bergelar saifullah al-maslul atau pedang Allah yang terhunus itu mati dalam kebanggaan. Lalu apa yang disesalinya dalam menyongsong maut?
Manshur Abdul Hakim dalam bukunya Khalid Bin Al-Walid Panglima Yang Tak Terkalahkan menceritakan, beberapa hari sebelum kematiannya, Khalid bin Walid berkata, “Aku berjuang dalam banyak pertempuran demi mencari kematian secara syahid. Tidak ada tempat di tubuhku melainkan terdapat bekas luka tusuk dari tombak, pedang ataupun belati. Meski demikian, inilah aku yang harus mati di tempat tidur layaknya seekor unta tua yang mati.”
Ternyata Khalid bin Walid berharap mati syahid di medan tempur membela agamanya, dan yang tidak disangkanya dia malah mati di ranjang. Mau bagaimana lagi, siapa yang dapat memilih kematian dirinya?
Orang-orang punya harapan dalam hidup, dan begitu juga setangkup harapan terhadap kematiannya. Bukan hanya Khalid bin Walid, setiap orang yang bermartabat mengharapkan kemuliaan dalam kematiannya. Setiap yang bernyawa pasti akan mati, dan tidak salah bila orang mengharapkan cara mati yang mulia. Dalam ajaran Islam, kematian nan mulia itu disebut dengan mati syahid.
Rasulullah bersabda, “Siapa memohon kematian syahid dengan jujur, niscaya Allah menyampaikannya ke derajat orang-orang yang mati syahid, meskipun dia meninggal dunia di atas ranjangnya.” (HR. Muslim)
Nah, kalau Khalid dapat bahagia dengan adanya penjelasan hadis ini, maka bagaimana dengan kita? Adakah peluang menyongsong syahid?
Kabar baiknya, agama yang luar biasa ini menegaskan mati di medan tempur membela agama bukanlah satu-satunya jalan meraih mati syahid. Dari lisan suci Nabi Muhammad disebutkan beberapa hadis, yang dirangkum oleh Syaikh Majdi Muhammad Asy-Syahawi dalam buku Bekal Menggapai Kematian yang Husnul Khatimah:
Rasulullah bersabda, “Orang-orang yang mati syahid ada lima (golongan): orang yang terkena wabah penyakit, orang yang sakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa reruntuhan, dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari).
Secara lebih spesifik terkait wabah penyakit, sabda Rasulullah lainnya, “Wabah penyakit adalah kematian syahid bagi setiap muslim.” (HR. Bukhari)
Hadis ini menjadi penyejuk atau penawar bagi insan yang tengah menghadapi kondisi pandemi begini. Jika ditarik ingatan ke tahun lalu, siapa sangka kalau hingga hari ini jumlah korban jiwa mencapai 64.631 orang meninggal dunia dan itu baru di Indonesia saja.
Itu jelas bukan sekadar angka, karena di sekitar kematian itu ada keperihan duka lara, kesedihan mendalam, dan juga kepiluan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Perlu dibentangkan cakrawala baru perihal kematian orang-orang tercinta yang berguguran dikarenakan oleh Covid-19.
Semoga hadis-hadis yang menerangkan tentang syahid terkait wabah ini menambah keikhlasan di hati keluarga, sanak famili, rekan atau sahabat atau siapa saja yang merasa kehilangan.
Kematian itu tidak akan mudah diterima bagi mereka yang ditinggalkan, akan tetapi kepergiannya menghadap Tuhan dalam kemuliaan, mati syahid setelah berjuang gagah berani menghadapi virus yang mematikan, insya Allah akan memberi kelapangan hati.
Ketika kematian akibat Covid-19 tak terelakkan lagi, padahal sudah berupaya sekuat tenaga menjalani pengobatan, maka ada yang membantu kita menerima duka ini berkat kemuliaan yang ditempuhnya, yaitu syahid. Dan ada tempat khusus baginya di sisi Ilahi.
KOMENTAR ANDA