PANDEMI Covid-19 yang masih menghantui tanah air saat ini membuat perayaan Idul Adha yang jatuh pada tanggal 20 Juli mendatang, harus mengalami penyesuaian.
Melalui Surat Edaran (SE) 17/2021, Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas telah mendesak warga untuk membatasi mobilitas dan tidak melakukan mudik Idul Adha. Selain itu, kegiatan ibadah seperti takbir di masjid atau takbir keliling serta penyelenggaraan salat Idul Adha di masjid/musala yang berada pada wilayah Zona PPKM Darurat, ditiadakan sementara.
Selain itu, pelaksanaan ibadah kurban pun harus disesuaikan dengan protokol kesehatan agar tidak terjadi kerumunan.
Meski banyak penyesuaian dilakukan, bukan berarti Idul Adha kali ini jauh dari kata khidmat.
"Mari kita renungkan kembali, tanya pada diri masing-masing, apakah kita merayakan tradisi, atau esensi dari Idul Adha itu sendiri?" ujar Ketua Umum Wadah Silaturahim Khotib Indonesia (Wasathi) Ustadz Fauzan Amin dalam program Bincang Sehat bertajuk "Khidmat Rayakan Idul Adha Di Tengah Pandemi" yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Politik RMOL pada Jumat (16/7).
Dia menjelaskan, yang terpenting dari perayaan Idul Adha adalah esensi, atau ibadah sunnah yang dijalankan, bukan semata tradisi, seperti mudik atau berkumpul untuk melaksanakan kurban.
"Yang kita rayakan adalah esensinya, sunnah-nya. Jangan sampai kita kehilangan rasa khidmat karena tradisi Idul Adha yang terganggu oleh pandemi. Karena yang terpenting adalah ibadahnya, esensinya," jelas Ustadz Fauzan.
Lebih lanjut dia menerangkan bahwa masih banyak yang menyalahartikan makna "kurban" saat Idul Adha.
"Kurban bukan sekedar darah atau daging (hewan kurban), melainkan subtansinya, nilai ketakwaan kita," kata Ustadz Fauzan.
"Untuk apa kita menyembelih 100 ekor hewan kurban tapi tidak disertai dengan niat baik, atau pada akhirnya adalah untuk riya? Kembali pada subtansinya, bahwa kurban adalah mengenai bagaimana kita meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah SWT," tandasnya.
KOMENTAR ANDA