Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

KALAU mau memaknai hakikat kurban, sebaiknya tidak berhenti pada kisah heroik penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Akan lebih bijak apabila kita melebarkan pembahasan dengan mengupas berbagai versi pengorbanan dalam beberapa peradaban dunia.

Ternyata yang jamak dikorbankan itu malah manusia, dan tak jarang dengan cara-cara nan sadis. Hal ini yang dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad, dimana suku Aztec di Meksiko mempersembahkan jantung dan darah manusia untuk Dewa Matahari. Orang-orang Viking di Eropa Timur mempersembahkan pemuka agama mereka kepada Dewa Perang, yang mereka namai “Odion.” Di Kan'an, Irak, bayi dipersembahkan kepada Dewa Ba'al.

Pokoknya, yang dikorbankan itu mulai dari bayi hingga perempuan cantik, dari yang kecil hingga yang tua, dari rakyat jelata hingga pemuka masyarakat. Praktik horor ini telah berlaku lama, dan betapa beratnya perjuangan risalah Islam dalam memadamkan pengorbanan yang kejam begini.

Segala jenis pengorbanan itu, mereka tujukan untuk kekuatan tertinggi yang dikira menguasai alam, yang disembah, yang ditakuti, baik itu dewa-dewi, berhala, benda-benda yang dikeramatkan, hingga roh-roh tertentu.

Lalu apa yang ditargetkan Islam dari ibadah kurban? Tentunya untuk memahami ini kita perlu membuka lembaran Al-Qur’an, khususnya surat Al-Hajj ayat 37, yang artinya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”

Secara logis, daging kurban itu tidak akan sampai kepada Tuhan. Lagi pula Tuhan tidak butuh daging. Andai pun Tuhan menginginkan sesuatu, maka atas kuasa-Nya apapun dapat dihadirkan tanpa perlu bergantung dengan siapapun, apalagi dengan manusia yang lemah ini.

Lalu apa maksudnya, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah,”?

Dalam makna yang lebih mendalam, yang dimaksudkan ialah daging kurban kita itu belum tentu mencapai keridaan Allah. Belum tentu!

Karena selain mempersembahkan penyembelihan hewan kurban, penting juga bagi kita memenuhi dulu syaratnya. Apa itu? Kurban hanya akan sampai pada keridaan Tuhan apabila disertai dengan ketakwaan.

Faisal Ismail dalam buku Islam, Konstitusionalisme dan Pluralisme menerangkan, ajaran kurban mendidik dan menuntun diri kita menjadi sosok pribadi yang takwa. Yaitu, sosok pribadi yang beriman, beramal, berkarya, dan bertakwa kepada Allah. Esensi ajaran kurban sebenarnya bukan terletak pada hewan kurban (daging dan darahnya) yang disembelih, tetapi terletak pada keimanan, kerelaan, ketulusan, keikhlasan dan ketakwaan seseorang dalam melaksanakan perintah kurban itu.

Lebih lanjut Abu Thalib Al-Makki dalam buku The Secret of Ikhlas menyebutkan, takwa yang bertempat di dalam hati itulah yang diterima oleh Allah Swt. Takwa itulah yang membuat sebuah amal menjadi benar dan ketakwaan itu pula yang akan diterima-Nya, lain tidak.

“Aku,” kata Allah, “Tidak membutuhkan daging dan darah. Untuk apa daging dan darah buat-Ku? Aku hanya menginginkan keikhlasan dan kemurnian niat. Darah yang keluar dari hewan kurban mendapat tempat di tanah dan dagingnya untuk kalian masukkan ke dalam perut kalian, sedangkan Aku hanya menerima takwa kalian.”

Atas dasar takwa, maka berhati-hatilah dalam menunaikan ibadah kurban, karena ada beberapa ranjau yang dapat merontokkan pahalanya, yang berujung tidak mendapat rida Tuhan, di antaranya:

Pertama, luruskan niat demi Allah semata, jangan ternoda oleh niat yang sumbing. Niat itu karena Allah, bukan karena tidak enak sama mertua, tidak dapat menolak desakan pengurus masjid, tidak menyia-nyiakan momentum pencitraan dan lain-lain. Apapun amalannya, niat adalah yang amat penting. Salah niat, maka melesetlah hakikat dari ibadah itu.
    
Kedua, peliharalah kemurnian ibadah kurban dengan tidak terjebak riya, pamer apalagi takabur. Jebakan-jebakan macam ini yang akan menjerumuskan kita ke jurang kebinasaan. Kurban yang diamalkan malah berujung kita menjadi korban dari sifat-sifat buruk itu. Ayo laksanakan kurban dan jangan jadi korban!

Tidaklah perlu menonjokkan diri ketika kita diberi kesempatan berkurban, karena penyembelihan hewan itu bukan perlambang diri telah paripurna. Sediakanlah waktu untuk menimbang-nimbang takwa, karena itulah yang membuat kurban kita jadi utama.




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur