MUJUR tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, maka jadilah musibah itu menjelma dalam berbagai rupa. Kok berbeda-beda rupanya? Ya, tergantung bagaimana kita memandangnya atau cara kita menerimanya.
Musibah itu datang tak bilang-bilang, dan perginya entah mau kapan. Acap kali datangnya bertubi-tubi, seperti tiada putus-putusnya, sehingga hidup ini tak mungkin sepi dari musibah.
Dengan menarik Farid Nu`man Hasan dalam bukunya Fiqih Musibah menerangkan, respons manusia terhadap musibah: Pertama, meratap (niyahah) dan menangis. Sebagian manusia ada yang tidak sabar menghadapi musibah. Mereka menjerit, meraung, melukai diri, dan merobek-robek pakainnya, eperti yang dilakukan orang-orang Arab jahiliyah.
Ini adalah niyahah (meratap) dan diharamkan dalam Islam. Adapun sekadar menangis, tanpa niyahah, ini tidak masalah dan dibolehkan karena menangis dan tertawa adalah hal yang manusiawi.
Kedua, berharap mati atau doa meminta mati. Berharap mati merupakan respons yang terlarang. Sebagian orang ada yang tidak kuat dan kurang bersabar menghadapi ujian, serta ada juga yang ingin cepar-cepat meninggalkan dunia. Mereka berdoa agar dimatikan (diwafatkan) seolah-olah setelah mati tidak ada lagi permasalahan.
Ketiga, istirja dan bersabar atas musibah. Hakikat sabar adalah reaksi pertama pada hantaman musibah. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Sabar adalah pada hantaman yang pertama.” Ini adalah sikap terbaik dan inilah sikap seorang mukmin.
Lalu apa yang dapat kita lakukan dalam rangka menyambut musibah?
Pertama, besar kecilnya musibah bergantung pada kelapangan hati kita. Bagi anak kecil, rusaknya mainan mobil-mobilan sudah menjadi musibah yang besar. Bagi orang dewasa kerusakan mobil-mobilan bukanlah musibah berarti. Lain halnya kalau yang rusak itu mobil sungguhan, apalagi yang mahal dan masih kredit, akan lain ceritanya.
Kedua, berat ringannya musibah tergantung pada kekuatan jiwa kita. Kehilangan sandal musibah besar bagi seseorang, dia sampai stres bahkan meluapkan kemarahan di media sosial. Akan tetapi ada orang yang kehilangan kakinya, alias buntung, yang dapat menerima kondisinya dengan ikhlas. Jiwa yang kuat membuatnya dapat menerima musibah.
Ini seperti hubungan timbal balik; adakalanya kita yang berupaya keras mencari dan memahami apa hikmah di balik musibah, dan terkadang musibah itu sendiri yang langsung menghidangkan hikmahnya.
Begitu pun dengan pandemi yang buntutnya berbagai musibah yang mendera; ekonomi terguncang, bisnis bangkrut, penghasilan merosot, hingga meningkatnya angka perceraian. Musibah apa lagi yang dapat menandingi jutaan orang jatuh sakit hingga puluhan ribu meregang nyawa.
Kalau tidak berpandai-pandai memetik hikmahnya, maka musibah itu akan memenggal harapan, padahal masa depan itu butuh harapan yang akan diretas. Hikmah yang memoles kepahitan menjadi jamu yang menguatkan. Hikmah yang menjadi teleskop masa depan, yang membuat kita mampu melihat jauh ke masa mendatang dengan harapan tentunya.
Amul Huzni atau tahun duka cita adalah sebutan ketika Nabi Muhammad dirundung musibah teramat berat, meninggalnya sang paman Abu Thalib dan istri tercinta, Khadijah. Keduanya ibarat tulang punggung dalam perjuangan dakwah Islam. Apakah dengan memetik hikmah di balik musibah kemudian kehidupan Rasulullah menjadi mudah setelahnya?
Tidak juga.
Dakwah beliau malah makin berat, karena permusuhan dari pihak musyrikin Quraisy kian keras. Dahulu mereka masih segan kepada Abu Thalib dan sungkan pada Khadijah. Keduanya telah tiada, maka musyrikin Quraisy jadi makin semena-mena.
Akan tetapi disanalah letak hikmahnya, dengan kian ganasnya kekejaman pihak Quraisy, maka tersibaklah hikmah terbesar dalam dakwah Islam. Akhirnya terjadilah hijrah yang menjadi momentum luar biasa, yang membuat sejarah Islam menuju kejayaannya.
Dari itu berbesar hatilah! Hikmah yang kita petik dari musibah tidak serta merta membuat segalanya menjadi mulus-mulus saja. Dengan hikmah itu kita mengokohkan hati, bersama hikmah kita memiliki visi masa depan, dan berkat dorongan hikmah kita memperoleh kekuatan daya juang berlipat ganda.
Dari itu, marilah mencari hikmah di balik musibah, bukannya menambah luka di atas airmata.
KOMENTAR ANDA