Dari kiri ke kanan: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon, Ketua DPR RI Puan Maharani, Presiden Joko Widodo
Dari kiri ke kanan: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon, Ketua DPR RI Puan Maharani, Presiden Joko Widodo
KOMENTAR

POLITIKUS PDIP Effendi Simbolon menggebrak. Tidak tanggung-tanggung. Ia menyalahkan Presiden Joko Widodo yang tidak mau menerapkan lockdown sejak awal pandemi.

“Presiden tidak patuh konstitusi. Kalau patuh sejak awal lockdown, konsekuensinya paling banyak keluar uang Rp 700 triliun. Sebulan Rp 1 juta saja kali 70 (juta rakyat) masih Rp 70 triliun. Kalau 10 bulan Rp 700 triliun. Angka itu masih  di bawah jumlah uang yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk hal yang tidak jelas ke mana larinya. Pada akhirnya, yang terjadi kini  lebih mahal ongkosnya. PSBB saja tahun lalu habiskan Rp 1.000 triliun lebih,” papar anggota Komisi I DPR RI itu.

Sebagai anggota parlemen, Efendi memang punya tupoksi mengawasi dan menegur pemerintah. Melekat hak kekebalan dalam dirinya. Tidak akan dipolisikan. Paling hanya berhadapan AM Mochtar Ngabalin, diehard Jokowi.

Tapi bukankah partainya, PDIP, pengusung utama Presiden Jokowi. Mungkinkah setelah ini, ia akan dipanggil menghadap dan dimarahi Megawati?

Mencemaskan nasibnya, semalam  saya coba menghubungi dia lewat telpon dan WhatsApp.  Sekalian pengin tahu latar belakangnya bersuara keras kepada Jokowi. Berkali-kali saya hubungi, namun tidak direspons. Tidak jelas, apakah pas di momen itu ia  tengah menghadap Megawati dan mendapat teguran keras pula? Dan, tidak boleh lagi menambah keterangannya kepada wartawan.

Tunggu. Tapi bukan hanya fEfendi elit PDIP yang terbuka mengkritik Jokowi belakangan ini. Pentolan partai berlambang banteng itu, Puan Maharani, juga. Beberapa kali sudah putri Megawati menyampaikan kritiknya kepada pemerintah. Misalnya minta pemerintah memperbaiki komunikasi publiknya. Yang terbaru empat hari lalu.

Ketua DPR RI itu menyoroti penanganan pandemi COVID-19 yang dilakukan pemerintah. Salah satunya aturan makan 20 menit dalam PPKM Level 4.  Puan khawatir aturan makan 20 menit hanya akan menjadi lelucon. Padahal, pemerintah seharusnya
menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan PPKM.

“Bangun kepercayaan masyarakat mulai dari prosesnya. Sampai masyarakat akhirnya merasakan langsung dampak positif dari kebijakan tersebut,” saran Puan di Jakarta, seperti dalam keterangan tertulisnya, Selasa (27/7/2021).

Puan selanjutnya menekankan perlunya  upaya membangun kepercayaan masyarakat. Jangan jangan sampai dicederai oleh hal-hal yang kontraproduktif dalam prosesnya. Misalnya, penurunan jumlah pemeriksaan (testing) di saat-saat krusial seperti ini.

“Kalau jumlah kasus harian turun, tapi jumlah testing turun, masyarakat mungkin akan bilang,  itu kan  karena testing-nya diturunkan. Pandangan-pandangan seperti itu sebisa mungkin diantisipasi pemerintah agar tidak menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam menangani pandemi,” lanjut  Puan.

Sampai Sabtu (31/7) angka penularan virus Covid-19 di Indonesia memang masih tinggi. Positivity rate sekitar 25 persen. Masih jauh standar yang ditetapkan WHO, di bawah 5 persen. Padahal, sudah hampir satu bulan PPKM berlaku. Update harian Satgas Covid kemarin mencatat kasus positif 37.284, sehingga total 3.409.658 orang terpapar virus itu. Yang sembuh: 2.770.092. Sedangkan wafat: 94.119 jiwa.

Jebakan Pandemi

Efendi Simbolon tergerak  bicara  keras kemarin tampaknya merespons pernyataan pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia (FKM UI), Pandu Riono. Sehari sebelumnya, Pandu mengatakan Indonesia sedang menuju jalur jebakan pademi (pandemic trap) yang semakin dalam. Dia menilai saat ini Indonesia belum memiliki panduan penanganan pandemi secara terencana dan target yang jelas.

Pendapat itu disampaikan melalui  cuitan di akun Twitternya yang memention akun Twitter Presiden Jokowi.

“Pak @jokowi Indonesia sedang menuju jalur Jebakan Pandemi (Pandemic Trap) yang semakin dalam dan semakin sulit bisa keluar dengan lebih cepat. Respon kendali tak bisa dengan tambal-sulam seperti sekarang. Pilihannya hanya satu, kendalikan pandemi dg 3M, Tes-Lacak-Isolasi dan Vaksinasi,” tulis Pandu di Twitter, Jumat (30/7/2021) yang  disiarkan banyak media.

Tidak akan Lockdown

Tidak sulit melacak kebenaran fakta tuduhan Effendi Simbolon kepada Presiden Jokowi.  Ada jejak  digital  yang mencatat Presiden Jokowi  memang sejak awal tidak menghendaki pemberlakuan lockdown. Waktu menteri sekabinet kompak bagi koor menyepelekan virus Covid19 itu. Termasuk Wakil Presiden RI Mar'uf Amin.

“Ah, nggak diobatin juga sembuh sendiri,” ini ucapan Menkes Terawan yang viral dan paling terkenal.

Selanjutnya penolakan lockdown itu disampaikan berkali-kali  oleh Presiden Jokowi.  Yang paling mutakhir, Jumat (30/7) lalu.
Jokowi mengatakan Indonesia tidak bisa memberlakukan lockdown seperti negara lain.

Pernyataan itu disampaikan Jokowi saat memberikan sambutan dalam acara pemberian Banpres Produktif Usaha Mikro 2021 di halaman Istana Merdeka, yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat kemarin.

Jokowi awalnya berbicara mengenai kondisi yang tidak mudah dihadapi semua pihak.

“Saya tahu  semuanya sekarang ini pada kondisi yang tidak mudah, bener? Sangat sulit, bener? Tapi itu dirasakan oleh semuanya. Tidak hanya pengusaha  mikro. Tidak  hanya usaha kecil, tidak hanya yang usaha sedang, menengah juga dan usaha besar, semuanya pada kondisi yang sangat-sangat tidak mudah, sangat sulit, dan itu tidak hanya dirasakan oleh pengusaha-pengusaha di Indonesia saja, tetapi di seluruh dunia. Semua kondisinya sama,” kata Jokowi.

Tegur Anies

Adapun mengenai lockdown, Jokowi ini tetap konsisten pada pendapat sejak awal. Presiden malah pernah memberi  peringatan keras kepada para kepala daerah.

“Jangan sok-sokan” mengambil kebijakan lockdown total seprovinsi atau sekabupaten/kota. Alasannya, itu akan berdampak besar ke  ekonomi masyarakat. Pemerintah sedang mencari keseimbangan. Prioritas kesehatan tapi tidak melupakan ekonomi.

“Pemerintah selalu berupaya mencari keseimbangan itu. Tidak perlu sok-sokan melockdown provinsi, melockdown kota, melockdown kabupaten,” kata Jokowi, tahun lalu. Tepatnya 10 Oktober, sebagaimana jejaknya bisa ditemukan dalam berita berbagai media.

Kepala daerah yang dimarahi Jokowi ada jejak digitalnya juga. Waktu itu, satu- satunya  pemprov yang mengajukan lockdown adalah  Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Pemprov DKI  mengajukan lockdown kepada pemerintah pusat pada bulan Maret 2020. Dalam surat nomer 143 tanggal 28 Maret 2020 Anies  membeberkan alasan mengapa ia mengajukan karantina wilayah seperti apa yang tertera dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Pertama, kasus di DKI naik signifikan dalam waktu cepat. Tercantum di surat itu, data menunjukkan dari tanggal 19 sampai 28 Maret terjadi peningkatan dari 165 kasus menjadi 627 kasus. Penyebaran PDP dan ODP juga merata di hampir seluruh penjuru Jakarta. Selain itu kematian di DKI Jakarta di bulan Maret sangat tinggi yakni 9,9 persen. Jauh dari rata-rata dunia 4,4 persen.

Anies menyebutkan Jakarta sebagai episenter wabah akan berisiko mempercepat penyebaran wabah ke wilayah lainnya di Indonesia.

Dua hari setelah itu, Presiden Jokowi menerbitkan keputusan, Jakarta menjalankan Darurat Sipil berbarengan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Makkampareng

Keputusan Presiden Jokowi tahun lalu itulah yang disesali kini oleh Effendi Simbolon. Pernyataannya keras sekali, Jokowi dituduh melanggar konstitusi. Akankah Effendi senasib Anies dinggap ditegur kerena dianggap sok tahu, wallahualam.

Soalnya ini bagian dari politik. Bagian yang sebenarnya ada di dalam sistem nilai masyarakat kita. Dalam kultur masyarakat Bugis, misalnya. Orang tua Bugis kalau mengetahui anaknya memukuli anak tetangga maka merekalah yang lebih dulu menghukum anak itu. Untuk menutup peluang datangnya tindakan balasan dari keluarga korban. Biasanya tetangga  pun cukup puas merespons tindakan yang memberi sanksi anak bengal itu.

Keluarga pelaku sudah “mengkapreng”, artinya menegur atau menindak anaknya sendiri. Tidak etis lagi memicu masalah. Begitulah mungkin Megawati melalui Effendi Simbolon dan Puan menegur Jokowi, petugas partainya. Yang lain jangan campur.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News