Kolase foto Heryanti Tio.
Kolase foto Heryanti Tio.
KOMENTAR

PERSIS sepekan. Senin (26/7) ketemu Senin (2/8). Baru muncul titik terang. Terang: Heryanti bermasalah. Terkonfirmasi semalam, putri bungsu pengusaha tajir Akidi Tio ini juga sedang hadapi kasus penipuan di Polda Metro Jaya. Laporan kasus itu tercatat di Krimum Polda Metro Jaya dengan No: TBL/1025/II/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ.

“Benar, Pak. Yang menangani unit kendaraan bermotor  (ranmor),” kata petugas di Polda Metro Jaya, Senin (2/8) malam.

Di Polda Sumatera Selatan, Senin siang, Heryanti  telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus sumbangan sebesar Rp 2 triliun yang menggerkan itu. Meski status tersangkanya sejam kemudian diralat oleh Humas Polda Sumsel, tetapi  tampaknya itu hanya soal prosedur hukum.

Penyidik mestinya memeriksa dia terlebih dahulu sebelum mengumumkan status tersangka. Cepat atau lembat Heryanti bakal terjerat juga hukum juga. Di Palembang maupun di Jakarta.

Proyek Istana Presiden

Buktinya, menurut laporan wartawan RMOL, semalam, dia diperiksa polisi selama tujuh jam di Polda Sumsel. Berdua dengan Prof. DR. dr. Hardi Dermawan, dokter pribadi keluarga itu.

Pemeriksaan akan dilanjutkan kembali hari Selasa (3/8) ini. Titik terang lain yang tak kurang penting: menguak peran Mabes Polda Sumsel sendiri dalam kasus sumbangan keluarga Akidi Tio. Rasanya sulit kita percaya. Tapi faktanya begitu. Bagaimana bisa institusi penegak hukum sampai abai meneliti segala hal yang berkaitan dengan sumbangan Rp 2 T sebelum dipublish. Sesuai prosedur lazim yang berlaku di intitusi itu. Apalagi, ini menyangkut uang yang sangat besar. Perlu pertanggungjawaban kepada publik.

Sumbangan Rp 2 T, menurut Peter F Gontha mantan bankir bank asing, belum pernah dilakukan orang yang paling kaya di dunia sekali pun. Apalagi di Indonesia.

Padahal, standar saja pengecekannya. Uang itu ada di mana? Di bank apa? Dalam bentuk apa? Valas? Emas? Saham? Bagaimana cara penyerahannya? Transfer atau cash keras -- dibawa dengan kendaraan bertruk-truk ke Mapolda?

Nah! Mungkin lebih baik begitu. Kalau  perlu undang wartawan asing seluruh dunia meliput. Dengan protokol kesehatan ketat, tentu. Supaya orang seluruh dunia melek: ini lho budaya gotong royong masyarakat Indonesia.

Uang Stereofoam

Bukan seperti yang kita saksikan dari foto dan rekaman video Senin (26/7) di Mapolda Sumsel. Hanya di streofoam ditulis nominal uang Rp 2 triliun itu.

Kapolda Sumsel pasti pening lah sekarang. Malu bikin acara itu minggu lalu. Sudah mengundang Gubernur hadir, Pangdam Sriwijaya yang diwakili Danrem, dan pemuka agama dari seluruh agama. Juga wartawan yang tampaknya hari itu lupa bertanya detil, padahal biasanya atau mestinya cerewet dalam soal "pitih".

Mungkin karena ikut terharu. Percaya buta dan hormat pada pengundang, tamu, terutama tempat acara di Mapolda. Masak macam-macam.

Masih segar dalam ingatan acara itu berlangsung khidmad, biarpun cuma setengah jam. Penyerahan sumbangan Akidi Tio di Gedung Promoter Polda Sumsel Lantai 3 Jl. Jend. Sudirman KMP, Senin  (26/7) siang. Dihadiri Gubernur Sumsel  H. Herman Deru, SH., MM, Kapolda Sumsel Irjen Pol Prof Dr Eko Indra Heri S, MM dan Danrem 044/Gapo Brigjen TNI Jauhari Agus Suraji, S.I.P. S.Sos. Acara yang juga disaksikan  oleh perwakilan seluruh pemuka agama.

Setelah itu kita ikuti rekaman video wawancara dengan perwakilan keluarga Akidi Tio, yaitu Prof. Hardi Darmawan. Kapolda, bicara. Intinya meyakinkan publik. Akidi Tio orang kaya dermawan. Sudah sering dia membantu rakyat tak mampu, tanpa publikasi.

Gubernur Sumsel Herman Deru mengapresiasi prakarsa Akiditi Tio. Dia berharap bisa ditiru seluruh masyarakat. Untuk urusan ini kita puji inisiatif Kapolda, bikin acara terbuka. Maklum ini sumbangan uang besar. Jangan sampai menuai fitnah dan sebangsanya. Bagus.

Namun, siapa  menyangka ternyata kelak acara itu menuai badai. Mungkin karena itu, dugaan saya, mengapa status tersangka Heryati Tio diralat. Untuk sementara waktu.

Penerapan pasal "menghina negara" dan "penipuan" serta "pembohongan publik" untuk Heryanti Tio hemat kita masih sumir atau belum klop. Sebab, kita juga semua tahu locus kejadian di dalam wilayah kekuasaan Mapolda Sumsel. Bersama Kapolda, Gubernur, pemuka agama. Berarti, secara hukum, nama-nama yang disebut mestinya ikut diperiksa.

Tidak ada Uang

Menjelang Maghrib kemarin, Marsekal Udara (Purn) Chappy Hakim menelpon lagi. Penasaran soal soal nasib dana Rp 2 T. Pemred koran Singgalang Padang, Khairul Jasmi, novelis Akmal Nasery, Pelukis Hardi, dan Budayawan Jaya Suprana, dan Pemred JakTV Timbo Siahaan menanyakan hal sama. Prank yah?

Saya hanya menjawab dengan menguraikan beberapa petunjuk ini.

1. Dari 7 anak Akidi Tio, hanya Heryanti itu saja yang ngotot, harga mati, menganggap ayahnya meninggalkan banyak warisan.

2. Enam kakaknya, sudah menyatakan tidak ikut urusan itu. Atau tidak mau membahas soal warisan. Pernah Prof Hardi menyebut sumbangan itu patungan dari 7 anak Akidi Tio. Tapi langsung dibantah oleh mereka. Nama saja pun mereka tidak mau dibawa-bawa.

3. Heryanti punya banyak masalah. Punya banyak hutang pada banyak pihak. Kasusnya  di Polda Metro Jaya terkait itu, dilaporkan urusan penipuan. Ada orang yang diajak menanam modal untuk proyek Istana Presiden -- entah presiden negara mana. Rencana pelunasan semua utangnya dijanjikan Heryanti kalau uang simpanan ayahnya Rp 16 T di Bank di Singapura "goal", sukses dicairkan.

4. Katakanlah uang itu benar-benar ada. Namun, pencairannya tidak semudah seperti menulis 2 T di stereofoam. Atau  di atas selembar cek Bank Mandiri -- yang fotonya dikirimkan ke saya semalam oleh sejawat Teguh Santosa, CEO Republik Merdeka Online.

Bank di Singapura, seperti juga Indonesia dan di seluruh dunia mensyaratkan harus ada underlying untuk bisa mencairkan dana sebesar itu. Keterbukaan informasi keuangan sekarang semakin ketat terutama untuk mengantisipasi money laundering dan terorisme.

Tanpa underlying, ikut cara biasa: maksimum hanya boleh tarik 20.000 SGD. Mengambil tunai di counter bank atau transfer.

5 . Duit yang mau dicairkan ini Rp 2 T atau 200.000.000 SGD. Dengan pembatasan itu, maka perlu 10.000 kali penarikan. Dihitung kasar, sekitar 25 tahun lah baru klar itu urusan pencairan. Dengan catatan ditarik setiap hari.

Sayang sekali gonjang gonjang  ini terjadi di tengah konsentrasi kita semua penuh untuk mengatasi perburukan pandemi virus Covid-19 di Tanah Air. Presiden Jokowi selalu mewanti-wanti semua pihak  jangan bikin gaduh. Eh, kegaduhan sekarang justru bersumber dari Polda Metro Sumsel.




Indonesia Raih “Best Tourism Villages 2024" UN Tourism untuk Desa Wisata dengan Sertifikat Berkelanjutan

Sebelumnya

Konten Pornografi Anak Kian Marak, Kementerian PPPA Dorong Perlindungan Anak Korban Eksploitasi Digital

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News