SURJADI Soerdirdja (selanjutnya: Pak Sur) menjadi Gubernur DKI Jakarta 1992-1997. Saya berkenalan semasa almarhum menjabat DKI 1 itu. Di PWI Jaya, saya menjabat Ketua Bidang Pembelaan Wartawan periode almarhum Tarman Azzam menjadi Ketua.
Masa Pak Sur menjadi Gubernur DKI bisa dicatat tidak ada masalah dengan wartawan. Bukan tidak ada masalah di Ibukota. Bukan tidak ada kritik menyorot kebijakan Pemprov DKI. Banyak kritik pers yang bisa bikin panas hati dan merah kuping jajaran Pemprov termasuk Gubernur DKI. Namun, menghadapi semua itu Pak Sur bersikap cool.
Pembawaannya yang tenang kebapakan, lebih sering memposisikan dirinya sebagai orangtua.
"Mau diapain lagi, bisanya kita memang baru segitu,” ujanya.
Itu ucapan pertama Pak Sur yang mengesankan saya. Ini satu lagi ucapannya saya catat bermakna sangat "dalam". Menanggapi pemberitaan yang sering menyudutkan dirinya, Pak Sur tenang dan memilih bersikap arif.
“Saya sih tidak apa-apa. Kalau saya mengamati, sebenarnya yang wartawan sudutkan adalah dirinya sendiri, sebab cara dia mendapatkan dan menuliskan beritanya mengabaikan kode etik profesinya sendiri,” begitu pandangan Pak Sur.
Ingat, masa dia jadi Gubernur DKI, masih masa Orde Baru. Masa pemerintahan represif bagi pers masa itu. Pak Sur berlatar belakang militer, baru lepas menjadi Pangdam Jaya (1988-1990) disela dua tahun menjabat Asospol ABRI (1990-1995), kemudian menjadi Gubernur DKI.
Sedikit pun tidak melekat gaya kepemimpinan militeristik selama menjadi DKI 1. Atau meniru gaya kepemimpinan songong para pejabat sipil. Pembawaan lelaki pendiam itu, memang tenang dan santun.
Kampaye Etika Profesi
Suatu kali, saya tawarkan kepada Pak Sur program PWI Jaya agar disokong biayanya oleh Pemprov DKI. Pak Sur setuju. Nama programnya “Kampanye Etika Professi/Kampanye Etika Pers.”
Kampanye KEJ bukan kepada wartawan tetapi kepada para camat dan lurah di DKI. Hanya sekali Pak Sur bertanya waktu persentasi program itu. “Kenapa camat dan lurah? Bukan kepada wartawan,” tanyanya.
Saya terangkan kepada beliau. Supaya aparat Pemprov mengenali parameter untuk menguji tingkat kepatuhan wartawan dalam melaksanakan tugasnya. Kami akan membagikan buku Kode Etik Jurnalistik. Biar tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan wartawan. Dengan begitu, para camat dan lurah bisa ikut mengontrol dan menangkal secara dini dampak buruk yang timbul akibat pemberitaan.
Persis setelah saya mengatakan Kode Etik Jurnalistik itu sesungguhnya adalah konsep operasional moral wartawan, Pak Sur ketuk meja. Setuju. Tidak lama kemudian saya dan anggota tim PWI Jaya pun beredar di beberapa kecamatan dan kelurahan melaksanakan sosialisasi KEJ. Sayang program itu berhenti setelah Pak Sur tidak lagi menjabat Gubernur DKI.
Tapi karier politik Pak Sur terus meroket. Menjabat Menteri Dalam Negeri (1999-2001) dan Menkopolhukam (2000- 2004).
Camat, Lurah, dan Wartawan Bodrex
DKI Jakarta terdiri atas satu kabupaten, lima kotamadya, 44 kecamatan, 267 kelurahan — menurut data 2017. Pada masa Pak Sur Gubernur DKI memang belum sebanyak itu.
Menurut peta organisasi PWI Jaya masa itu, kantor Kelurahan dan kecamatan menjadi kantong banyak wartawan bermasalah. Istilah dulu “wartawan bodrex”, sekarang “wartawan abal-abal” atau “kaleng-kaleng”. Buzzer belum ada.
Setiap hari PWI Jaya menerima pengaduan praktek pemerasan orang yang mencatut nama wartawan kepada camat dan lurah. Rutin “wartawan” mendatangi mereka dengan berbagai modus. Wartawan resmi sudah risih melihat praktek itu di lapangan. Mengganggu pekerjaan mereka.
Dari hasil penelusuran, kebanyakan yang nekad itu bukan wartawan memang. Hanya pecundang yang mengaku-ngaku wartawan. Mudah dikenali, penuh atribut pers, mulai dari topi, jaket, tas, sampai sepeda motornya. Sticker “PRESS” yang mudah diperoleh di Pasar Senen, mendominasi perangkat kerjanya.
Setiap Lebaran, Natal, Tahun Baru, mereka bikin list atau datang bergerombol ketemu lurah dan camat. Minta THR. Sampai ada yang tanya, agama mereka apa sih sebenanya? Hari-hari besar keagamaan apa pun, orang- orang itu juga yang datang.
Pernah atas pengaduan masyarakat, PWI Jaya yang bekerjasama dengan pihak kepolisian berhasil menangkap 97 terduga pemerasan. Tapi polisi tidak bisa memproses, karena kurang bukti. Hanya bisa ditahan 1x 24 jam. Pihak korban tidak berani muncul apalagi membuat pengaduan resmi.
Camat dan lurah bingung. Sulit dia membedakan mana yang wartawan asli mana yang rombengan. Ketua PWI Jaya Tarman Azzam marah sekali. Dia mendapat laporan keadaan makin parah di lapangan. Ada camat yang terpaksa tidak berani masuk kerja karena ditunggu gerombolan itu di kantornya. Ada juga lurah yang merasa aman karena sudah ketemu selahnya.
Apa itu? “Anggap saja saya berinfaq, Pak. Kalau ada yang datang, saya bilang sama staf, sudah kasih saja pembeli rokok atau pembeli nasi bungkus. Biar cepat pergi,” kata seorang camat. Itu yang bikin Tarman Azzam makin panas.
Jalan Satu Arah
Pada masa kepemimpinannya di DKI Pak Sur mengerjakan proyek pembangunan rumah susun dan menciptakan kawasan hijau serta memperbanyak daerah resapan air. Adapun proyek kereta api bawah tanah subway dan jalan susun tiga (triple decker) sudah sempat juga diwacanakan tapi masa jabatannya keburu berakhir.
Catatan lainnya, Pak Sur berhasil membebaskan jalan-jalan Jakarta dari angkutan becak. Sebuah program yang telah dimulai sejak gubernur sebelumnya, Pak Wiyogo (Bang Wi).
Jejak lain Pak Sur, memberlakukan Sistem Satu Arah (SSA) pada sejumlah ruas jalan. Untuk mendukung laju mobilitas penduduk Jakarta, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sedangkan pihak swasta membangun sejumlah jalan tol yaitu Tol Dalam Kota, Tol Lingkar Luar, Tol Bandara, serta ruas tol Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor-Ciawi, dan Jakarta-Merak, yang menghubungkan Jakarta dengan kota-kota di sekitarnya.
Par Sur telah tiada. Orang tua itu telah pergi selamanya.
Innalillahi Wainailaihi Rojiun H. Surjadi Soedirdja bin Achmad Soedirdja, wafat dalam usia 82 tahun, Selasa (3/8) pukul 10.35 WIB di RS Mayapada, Jakarta Selatan. Ia meninggalkan istri, Ibu Sri Soemarsih, dua anak dan dua menantu yakni pasangan M.S.Negara (Trees) & Tanti Nutan, dan pasangan Jusuf Sanggarabudi (Yossy) & Hefi. Serta cucu Ardhan Rhamanov, Putri Nadhira. S., dan Putra Dewantara.
“Bapak hanya semalam di RS. Hari Senin kami antar ke RS karena muntah-muntah,” kata Tress, panggilan akrab Satrianegara, putranya. Par Sur dimakamkan di TMP Kalibata hari itu juga.
Pak Sur sudah cukup lama dirawat di rumah karena stroke. Tiga tahun lalu, bersama sejawat Marah Sakti Siregar, saya membesoek beliau. Masuk kamar tidurnya, kami sempat bicara sebentar.
Beliau tampak senang kami datang. Hari itu kami cukup lama di rumah beliau. Berbincang dengan anak dan mantunya. Tress minta saya menemani dia menerima Tim Garuda Indonesia Airways.
Oh, iya hampir lupa. Pulang dari Melbourne beberapa hari sebelumnya, tas tangan Ardhan, putra Tress tertinggal di bawah kursi pesawat. Tas bisa dia peroleh kembali, tapi uangnya tidak. Terdiri atas 9 lembar 100 USD dan 10 lembar pecahan Rp 100 ribu.
Peristiwa itu saya beritakan di media. Pihak Garuda pun merespons. Dompet Ardhan berisi uang berhasil ditemukan. Di kantong petugas cleaning service. Hari itu GM Garuda di Bandara Soekarno Hatta, Yanti Siregar, mengantarkan ke rumah Pak Sur.
Keluarga Pak Sur sudah seperti keluarga kami. Saya menikahkan anak maupun ulang tahun Pak Sur dan Ibu datang. Kami intens berkomunikasi dengan Tress dan istrinya, Tanty.
Pak Sur sosok inspiring. Jejak kariernya di bidang militer dan politik sejak lulus dari Akademi Militer melesat tegak lurus dengan prinsipnya memegang teguh amanah. Hingga di ujung: menjadi Menkopolhukam.
Pak Sur kelahiran Batavia, 11 Oktober 1938, pernah juga mengikuti pendidikan militer di Perancis pada tahun 1974. Semoga orang tua kita yang baik hati ini, soleh, dan amanah Husnul Khotimah. Al Fatihah.
KOMENTAR ANDA