Anak-anak butuh proses dalam menerima pendidikan yang adil bagi dirinya, peran orangtua adalah mengobarkan motivasi sembari menimbang-nimbang faktor usianya/ Net
Anak-anak butuh proses dalam menerima pendidikan yang adil bagi dirinya, peran orangtua adalah mengobarkan motivasi sembari menimbang-nimbang faktor usianya/ Net
KOMENTAR

“KAMU itu seperti buah dikarbit!”

Begitu kata ayahnya. Ibunya bukan hanya mengamini, tetapi bicara panjang lebar. Sekalipun masih anak-anak, bocah itu sangat paham dengan kata karbit. Setiap kali pisang berbuah di ladang, dirinya yang bertugas memberikan karbida atau senyawa kimia yang membuat buah lekas matang.

Jadi, anak laki-laki itu paham dikarbit itu, artinya, orangtua mendidiknya bagaikan pisang yang diperam, sudah matang meski hakikatnya masih mentah.

Belum tamat sekolah dasar anak itu sudah bekerja keras, menjadi pedagang asongan jalan kaki berkilo-kilometer. Selain menunaikan tugas-tugas di rumah, dirinya juga menguras tenaga di ladang. Omelan maupun kemarahan serta kerasnya hidup menjadi santapan hariannya.

Dari hari ke hari kehidupan makin sulit, anak itu menjadi lebih dewasa dari usianya karena tempaan nasib. Orangtua memang mendidiknya lekas dewasa, menjadi lelaki sejati. Hebatnya, bocah itu tetap konsisten meraih prestasi belajar tertinggi di sekolahnya.

Orangtua pun bangga, dan menilai cara mendidiknya berhasil.

Setiap orangtua memang menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Saking semangatnya dalam mendidik, adakalanya kita terlupa bocah-bocah itu tetaplah anak-anak yang jauh berbeda dengan orang dewasa.

Buah yang dikarbit dengan buah matang pohon jelas beda kualitasnya, dari cita rasanya saja berbeda, apalagi harganya. Dengan cara dikarbit memang diperoleh hasil yang instan, cepat jadi matang, akan tetapi besar pula risikonya. Selain kualitasnya yang ala kadar, cara dikarbit ini membuatnya lekas busuk.

Nah, itulah yang perlu dicermati dalam mendidik anak-anak, perhatikanlah cara terbaik agar tidak melampaui takaran usia mereka. Jangan terburu-buru dengan keinginan meraih hasil yang instan, tetapi ingatlah risiko besar yang mengintai, yaitu anak berpotensi menjadi generasi yang busuk.

Anak-anak akan hidup dalam tekanan, batinnya merana akibat beban teramat berat di pundak kecilnya, dan jangan kaget kalau akhirnya anak meledak lalu balik mengingkari didikan orangtuanya.

Karenanya pendidikan terhadap anak pun mestilah berlandaskan keadilan. Asupan pendidikan itu dapatlah digambarkan pula bagaikan asupan makanan, tiap anak beda porsinya, sesuaikan dengan usianya.

Contohnya, setengah porsi sate mencukup bagi anak usia 7 tahun, tetapi menjadi kurang bagi anak usia 17 tahun. Dan jangan coba-coba setengah porsi sate dipaksakan pada anak usia 7 bulan, bisa malapetaka ujung-ujungnya. Keadilan dalam mendidik memang amatlah penting.

Nah, bagaimana dengan Rasulullah? Tidakkah beliau mendidik anak-anaknya terlalu cepat dewasa?

Buktinya ada kok, Fatimah yang masih belia sampai dijuluki Ummu Abiha, ibu dari ayahnya. Bagaimana bisa Fatimah memikul tugas laksana ibu pada usia teramat muda?

Eh, tunggu dulu!

Jalaluddin Rakhmat menerangkan pada buku Meraih Cinta Ilahi, untuk pertama dan terakhir kalinya dalam sejarah, seorang ayah memanggil putrinya dengan panggilan yang menggetarkan Arasy: Ummu Abiha.

Ketika Rasulullah pulang dengan wajah dan kepala yang sudah tertutup lumpur, Fatimah menyambut ayahnya dengan tangisan. Ia mengambil air, membasuh kepala dan wajah Nabi yang mulia dengan tangan-tangan kecil yang terus menerus  bergetar karena kesedihan, kemarahan, dan kebingungan. “Jangan menangis, Anakku. Tuhan akan membela ayahmu dari musuh-musuh agama dan risalah!”

Rasulullah pulang dalam kondisi buruk, akibat kekejian yang dilakukan musyrikin Quraisy. Fatimah membersihkan kotoran, dibarengi dengan linangan airmata. Meski beliau juga bersedih tentunya, Nabi Muhammad tetap memperhatikan faktor usia Fatimah dalam menghibur lara hatinya.

Terbukti Nabi Muhammad tetap memperlakukan putrinya layaknya anak-anak, meski Fatimah menunjukkan kematangan dirinya. Rasul tetap mempertimbangkan faktor usia, dan tidak menjerumuskan putrinya dalam beban yang melampaui kapasitas batin anak-anak.

Jelas sekali, dari julukan Ummu Abiha ini bukannya Nabi Muhammad menaikkan level Fatimah yang belia langsung mendapat pendidikan layaknya seorang ibu. Bukan demikian!

Ummu Abiha itu bentuk penghormatan dan juga motivasi bagi putrinya yang memang banyak membantu ayahanda, khususnya dalam membela agama. Lagi pula Rasul seorang yang ahli dalam membangkitkan motivasi.

Ketika Fatimah berbuat segala sesuatu bagaikan peran ibu, bukanlah suatu kewajiban yang diharuskan, melainkan sesuatu yang terbit sendiri dari sanubarinya. Sejarah mencatat saat Fatimah yang membersihkan kotoran unta di kuduk ayahnya yang lagi shalat dan menghardik gerombolan berandal Quraisy yang berbuat keji itu. Nah yang demikian adalah tindakan yang terbit dari kesadaran terdalam, bukan karbitan ya!

Dengan wafatnya Khadijah bukan berarti Fatimah yang memikul urusan rumah tangga. Dia terlalu belia untuk banyak urusan demikian berat. Bahkan, ketika istri beliau masih ada, bukankah Nabi Muhammad ikut memasak di dapur, memperbaiki sandal, atau menjahit sendiri pakaian yang robek? Jadi, tidaklah mungkin beliau menimpakan beban berat seorang ibu pada putrinya.

Nabi Muhammad memberi kita pemahaman, anak-anak tidak mungkin menyalin peran layaknya orang dewasa. Anak-anak butuh proses dalam menerima pendidikan yang adil bagi dirinya, peran orangtua adalah mengobarkan motivasi sembari menimbang-nimbang faktor usianya.
    
        




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur