Noor Ahmed/ Foto : Instagram @noortahmed
Noor Ahmed/ Foto : Instagram @noortahmed
KOMENTAR

SEPANJANG hidupnya, Noor Ahmed hampir tidak pernah tidak 'terlihat'. Dan biasanya, kesan pertama membawa petaka baginya. Golf Digest memuat kisah perjuangannya meruntuhkan stereotipe di negeri Paman Sam.

Mulai dari namanya: Noor Ahmed. Nama itu, di Amerika Serikat, jelas sesuatu yang sangat menarik perhatian. Demikian pula hijab yang ia kenakan sejak kelas tujuh.

Saat SMA, ia mengendarai Ford F150 pickup dengan membawa tongkat golf namun seringkali tidak menuju lapangan golf.

Lalu Noor masuk University of Nebraska-Lincoln. "Di sini saya benar-benar terlihat menonjol seperti ibu jari yang bengkak," kenang Noor.

Kesan pertama tetaplah kesan pertama, sebuah reaksi mendalam yang seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Sebagai seorang Muslim Amerika, Noor sudah berpengalaman dengan berbagai reaksi tersebut. Mulai dari ketidakpedulian, penasaran, hingga permusuhan dan rasisme.

Apa pun anggapan orang tentang hijab, anggapan itu baru bisa membaik saat 'kesan kedua' bertemu Noor. "Jujur, banyak sekali hal positif dan hal menakjubkan tentang Noor," ujar Kelli Corlet, salah satu pelatih Noor di First Tee Sacramento sekaligus pendamping Noor saat diundang menjadi pembicara dalam First Tee Congressional Breakfast di Washington DC tahun 2017.

First Tee merupakan organisasi nirlaba yang mengajarkan keterampilan hidup untuk anak-anak melalui pelajaran golf.

Kelli menambahkan bahwa Noor adalah sosok yang sangat menginspirasi. "Dia pegolf hebat dan seorang yang sangat cerdas. Dia memahami apa artinya menjadi orang baik. Dan itu menjadi prioritasnya. Orang-orang sangat senang berada di dekatnya."

Opini tersebut melekat pada Noor, yang dua tahun lalu masihlah mahasiswa tingkat dua yang masuk tim golf wanita Nebraska yang juga Muslim pertama (sekaligus berhijab) yang bermain golf di kompetisi tingkat universitas.

Seperti Kelli, kekaguman terhadap Noor juga dirasakan Robin Krapfl—pelatih Nebraska. Menurut Robin, Noor adalah perempuan muda yang impresif.

"Saya tahu dia merasa memiliki tanggung jawab untuk menjadi contoh teladan bagi para gadis muda Muslim, tapi ya, dia melakukannya dengan sangat baik. Saya bangga dia mampu mengemban tanggung jawab dan menghadapi berbagai tantangan setiap hari dengan kedewasaannya."

Mengira Golf Itu Mudah

Noor lahir dari orangtua asal Mesir yang bermigrasi ke Amerika Serikat. Ayahnya, Tamer, tiba di AS bersama kakek Noor yang melarikan diri dari siksaan politik.

Noor lahir di Austin, Texas, namun keluarganya kemudian menetap di wilayah Sacramento. Tamer adalah seorang insinyur sipil yang bekerja di Department of Correction California, sementara istrinya, Hoda, adalah seorang guru sekolah dasar. Tamer dan Hoda menyemangati kedua anak mereka, Noor dan adiknya, Yusuf untuk menekuni olahraga.

Tinggal di rumah yang berada di Folsom, pinggiran Sacramento—dekat dengan Empire Ranch Golf Club membuat Noor 'tertarik' dengan golf. Dalam benaknya, golf adalah permainan yang menyenangkan. Dan gampang dilakukan.

"Saat saya berusia 8 tahun, golf terasa sangat sulit. Dan itu menjengkelkan. Butuh waktu untuk saya belajar bahwa golf adalah olahraga yang membuat kita mendapatkan sesuatu dari apa yang kita usahakan," kenang Noor.

Sempat ingin berhenti dari golf, sang ayahlah yang mengingatkan Noor. "Jika ingin menguasai suatu hal, maka kamu harus terus mencoba."

Maka Noor pun mulai menapaki jalannya. Mencoba mengasah kemampuannya. Dan ia pun jatuh cinta dengan kerja kerasnya berlatih dan mulai mendapatkan hasilnya.

Sang ayah tak pelit memberi bonus. Misalnya saat Noor mengalahkannya, ia membelikan sang putri sebuah ponsel. Mendapatkan 'penghargaan' setelah berlatih lima hingga enam bulan hingga bisa mengalahkan sang ayah, disebut Noor sebagai hal terbaik yang pernah terjadi padanya.

Perundungan Yang Menyesakkan

Meski demikian, dulu Noor tergolong anak pemalu. Bagaimana tidak, bullying menjadi kisah sehari-harinya mulai dari TK, sekolah dasar, hingga bangku SMP. Anak-anak yang berteman dengannya hanya memanfaatkan kecerdasan Noor untuk membantu mengerjakan tugas sekolah. Ia sudah kenyang dengan ejekan berbau rasial. Tak heran bila ia merasa depresi, cemas, dan merasa tidak berharga.

"Mereka mengatakan orang dengan penampilan fisik seperti saya tidak punya tempat di negara ini."




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women