Maha Suci Allah yang membuka banyak pintu rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dan mudah-mudahan saja kita dapat memanfaatkannya dengan baik/ Net
Maha Suci Allah yang membuka banyak pintu rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dan mudah-mudahan saja kita dapat memanfaatkannya dengan baik/ Net
KOMENTAR

SIAPA bilang hanya cerita kepahitan, nyatanya dalam keterpurukan akibat pandemi ini masih banyak juga kisah-kisah manis. Bukan hanya berkecukupan, mereka yang gilang-gemilang ini juga mencicipi kelebihan rezeki. Subhanallah!

Maha Suci Allah yang membuka banyak pintu rezeki bagi hamba-hamba-Nya. Dan mudah-mudahan saja kita dapat memanfaatkannya dengan baik.

Namun rezeki itu adalah amanah dari Ilahi. Karena berapapun jumlahnya, kita harus bertanggung jawab di mahkamah akhirat. Kita tidak benar-benar memiliki harta di dunia ini. Tanpa perencanaan yang matang, jangan amanah rezeki itu bisa menjadi musibah.

Kok bisa?

Pada masa Nabi Musa ada manusia supertajir namanya Qarun. Saking kayanya dia, kalau orang-orang ketemu harta terpendam disebut-sebutlah sebaga harta karun. Dulunya dia teramat miskin, atas karunia Tuhan dirinya menjadi kaya raya. Akan tetapi Qarun lupa diri, lalu ditenggelamkan ke bumi sekalian dengan hartanya.

Ketika kita dikasih Tuhan amanah berlebih rezeki di masa pandemi begini, maka datanglah panggilan untuk menjadi sosok pemurah. Banyak sekali orang yang butuh bantuan tatkala tekanan hidup begini luar biasa beratnya. Maka dari itu, ingatlah pesan agama agar tidak kikir.

Kabar baiknya, kian banyak orang yang lagi berlebih rezeki gemar menyebarkan bantuan. Mereka mulai mengulurkan tangan kepada orang-orang terdekat, terutama kepada para sahabat.

Dan ternyata sifat pemurah ini juga ada jebakannya. Bukan riya atau sombong atau lain sejenisnya, melainkan kealpaan khas manusia dalam membuat skala prioritas. Di antara jebakan itu ialah pemurah kepada sahabat tetapi abai terhadap keluarga sendiri.

Ada beberapa alasan yang membuat orang lebih mengutamakan sahabat-sahabatnya, di antaranya kira-kira begini:

Pertama, sebagian orang cenderung lebih dekat atau terbuka kepada sahabatnya daripada orangtuanya. Hal ini yang hendaknya kita perhatikan ketika menjadi orangtua! Buatlah anak-anak nyaman dengan kita, sehingga mereka kelak tidak mendahulukan teman daripada ayah bunda.

Kedua, sebagian orang berinteraksi dengan amat intens bersama sahabat-sahabatnya, sementara orangtuanya berada jauh di mata, jauh sekali malah. Akibatnya yang terlihat itulah yang lebih terutamakan.

Ketiga, sebagian teman lebih banyak berkeluh kesah tentang kesulitan hidupnya, sedangkan orangtua lebih banyak mendiamkan kesusahannya. Mengapa demikian? Dengan alasan agar tidak jadi beban bagi anaknya.

Ada kejadian menarik, seorang nenek-nenek yang masih saja lincah. Dia memang instruktur senam bagi anak-anak. Dengan jujur ia mengakui teramat capek. Tetapi ia tetap setia menguras keringat tiap hari dengan alasan, “Tidak mau menyusahkan anak-anak.”

Terlepas entah apa itu yang menjadi penyebabnya, ada baiknya kita cermati sosok yang tidak pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad, akan tetapi pemuda itu mendapatkan sanjungan dari Rasulullah.

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin dalam buku Syarah Riyadhus Shalihin menerangkan, bahwa benar, Nabi Muhammad memerintahkan orang yang bertemu dengan Uwais Al-Qarni agar meminta didoakan olehnya. Akan tetapi, ini khusus dengannya karena dia adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya dan Allah hendak meninggikan penyebutannya di dunia ini sebelum mendapatkan pahala di akhirat.

Dia adalah Uwais Al-Qarni, pemuda asal Yaman Apakah dia kaya? Silahkan orang memperdebatkannya, tergantung bagaimana masing-masing pribadi mendefinisikan kaya itu.

Pekerjaannya adalah mengembalakan domba. Miskinkah Uwais? Ya, silahkan berdebat lagi terkait definisi miskin.

Sekilas penghasilan apalagi pekerjaannya tidaklah menjanjikan. Mana mungkin dapat disebut kaya? Akan tetapi Uwais memiliki kemampuan untuk mencapai level berlebih rezeki.

Uwais dapat menjungkirbalikkan persepsi publik. Dia bisa melebihkan nilai dari rezekinya. Tidak ada rezeki yang sedikit kalau disyukuri dan dimanfaatkan dengan tepat.

Dengan hasil kerja peluh keringat sendiri, Uwais memberi makan minum bagi ibunya yang lumpuh dan buta, mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya. Dia telah mencapai level berlebih rezeki, karena mampu memberikan bukan hanya untuk dirinya tapi juga orang lain, terutama keluarganya.

Ada lagi yang lebih spektakuler! Dengan keringatnya dia mengumpulkan perbekalan untuk ibadah haji. Kemudian dengan keringatnya pula, Uwais menggendong sang ibu jalan kaki demi menunaikan ibadah haji, dari Yaman ke Mekkah.

Jalan kaki lho!

Berlebih rezeki itu tergantung diri kita masing-masing. Bagi manusia bermental Qarun, demikian banyak hartanya tersimpan di gudang-gudang dan kantor bank, bertebaran dari timur sampai ke barat, tetapi dirinya masih merasa paling berkekurangan.

Prinsip hidup Uwais inilah yang, insyaallah, membuatnya bisa mencapai hakikat berlebih rezeki, dan menjadikan kita mampu mengulurkan tangan kasih kepada mereka yang tercinta.
    
 
    
    




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur