Ilustrasi akad nikah/ Net
Ilustrasi akad nikah/ Net
KOMENTAR

KABAR itu ramai ditulis media mainstream hingga media sosial. Tentang pernikahan dua anak muda, sang pengantin pria baru berusia 22 tahun dan pengantin wanita berusia 26 tahun.

Yang laki-laki mewarisi nama besar almarhum dai ternama Negeri ini. Masih muda, berkiprah di dunia bisnis dan entertainment, juga dakwah yang menyasar anak muda. Ia memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan berbagai kegiatan positifnya. Termasuk membagikan foto-foto dalam episode kehidupan personalnya.

Dan layaknya kehidupan umat manusia, tak ada seorang pun yang punya kehidupan sempurna.
Menjadi sosok muda yang diidolakan banyak anak muda lain, terutama karena dinilai berani untuk menikah di usia yang dianggap belia, nyatanya tak menjamin kemesraan berlangsung hingga akhir hayat.

Cinta kasih yang awalnya nyata terpampang lewat foto dan caption mesra dengan sang istri, kini tak bersisa. Yang tersisa adalah pengakuan untuk menjadi orangtua terbaik bagi putra mereka.

Dan kabar itu pun merebak, bahwa pemuda itu kini memutuskan menikah lagi, dua bulan setelah resmi bercerai. Perempuan yang dinikahinya saat ini berada dalam manajemen yang sama. Dan (entah) kebetulan, punya kisah rumah tangga serupa dengan si pemuda.

Menikah di usia muda dengan seorang aktor, meski banyak yang mendoakan keduanya langgeng, nyatanya mereka berpisah juga.

Pernikahan di usia muda memang selalu menghadirkan pro kontra.

Dalam Islam, Rasulullah menegaskan anjuran menikah untuk para pemuda. "Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih menahan kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya." (HR. Bukhari)

Jika seorang pemuda beriman kepada Allah, meyakini kekuasaan Allah, memiliki kecerdasan akal dan budi, serta menyadari tanggung jawab sebagai seorang laki-laki yang mesti menjadi imam bagi istri dan anaknya, maka menikah menjadi ibadah yang tak semestinya ditunda.

Tanggung jawab kepala keluarga bukan semata urusan mencari rezeki melainkan juga menjaga kehormatan keluarga serta mendidik istri dan anak agar senantiasa taat kepada Allah Swt. Intinya, seorang suami bertanggung jawab menjadikan keluarganya mulia di dunia dan mulia di akhirat.

Tanggung jawab non-materi itu yang teramat sulit diemban. Masalah rezeki, bisa disiasati asalkan pasangan suami istri selalu bersyukur. Kreatif dalam mengelola rumah tangga baru. Yakinlah pintu rezeki terbuka lebar bagi hamba Allah yang berjuang untuk keluarganya.

Dan yang juga kerap menggerogoti kesyahduan rumah tangga adalah media sosial.

Seorang pemuda yang cerdas secara spiritual, emosi, dan intelektual, seharusnya bisa memahami dua sisi media sosial; bermanfaat untuk meningkatkan jejaring sosial maupun bisnis namun juga bila kebablasan mengumbar ranah pribadi, mungkin akan sulit baginya untuk bisa berintrospeksi, jujur, dan menapakkan kaki pada realitas hidup sesungguhnya.

Perseteruan suami istri atau saling sindir antara keduanya di media sosial bagaimana pun adalah aib. Bagaimana pun buruknya sikap pasangan kita, pasti ada peran kita dalam kehidupannya. Mungkin saja, tanpa kita sadari, kekurangan atau kekhilafan kita yang memicu perubahan sikapnya. Jika pun satu pihak merasa benar, sejatinya tak perlu menggiring opini warganet untuk memihak.

Jujurlah pada nurani, apa tujuan mengunggah permasalahan pribadi ke ranah publik? Mencari kebenaran? Membuktikan kebenaran? Apakah itu bisa dicapai dengan mengumbar ranah pribadi nan sensitif ke hadapan umat manusia di seluruh dunia yang tidak tahu seperti apa diri kita dan pasangan kita?

Kita semua tahu jawabannya: Tidak ada kebaikan dalam hal itu.

Usia muda bukan berarti tidak bisa bijaksana. Usia muda bukan berarti tidak bisa beradaptasi dengan pasangan. Usia muda bukan alasan untuk tidak bisa sabar. Usia muda juga seharusnya bukan alasan untuk tidak bisa saling menghargai.

Ketika memutuskan menikah, seorang laki-laki dan perempuan tahu bahwa apa yang akan mereka jalani adalah sebuah mitsaqan ghalizha—sebuah perjanjian agung.

"Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambi perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu." (QS. An-Nisa: 21)

Usia muda memang kerap diidentikkan dengan kondisi emosional yang belum mapan. Juga hawa nafsu yang biasanya menguasai. Padahal konsep pendidikan dalam Islam menjadikan seorang remaja mampu memiliki akhlak karimah karena dia bertakwa kepada Allah Swt.

Godaan bisa saja datang silih berganti. Dan untuk bisa menghalaunya, bukan semata bergantung pada usia. Kedewasaan berpikir dan kesadaran akan mitsaqan qhalizha itulah yang membuat pasangan suami istri bisa tetap menjaga keindahan pernikahan. Menuruti ketentuan Allah dan tidak menuruti hawa nafsu atau memperbesar ego.

Mitsaqan ghalizha sejatinya merupakan sebuah perjanjian agung yang dalam Alquran disejajarkan dengan perjanjian antara Allah dan para Rasul ulul azmi (Al-Ahzab ayat 7) dan perjanjian antara Allah dengan bani Israil (An-Nisa ayat 154).

Artinya, pernikahan adalah sebuah janji yang harus dijalankan dengan segenap kekuatan dalam diri kita. Satu tahun, tiga tahun, lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, memang bukan jaminan pasangan suami istri bisa semakin menyatu. Tak ada yang bilang mudah. Namun itu semua terasa jauh lebih bermakna daripada memutuskan menyerah untuk melakukan perkara yang dibolehkan namun amat dibenci Allah.

Inilah sebuah ikhtiar sepanjang hayat, sebuah kompromi tanpa batas, yang menuntut kesabaran dan keikhlasan kita untuk menikmatinya setiap hari.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur