HARI Kemerdekaan RI mengalirkan rasa nasionalisme yang membara, terutama saat lagu kebangsaan Indonesia Raya mengiringi pengibaran Sang Saka Merah Putih.
Bagi sebuah bangsa, bendera tak hanya identitas tapi juga harga diri dan kemuliaan. Tengok saja ketika para atlet kebanggaan Indonesia berlaga di Olimpiade. Memenangkan medali, naik ke podium kehormatan, juga mendengarkan lagu Indonesia saat Merah Putih dikibarkan, tentu menggelorakan semangat patriotisme.
Di balik hadirnya bendera Merah Putih di atas tiang yang berkibar di setiap rumah dan bangunan di negeri ini, kita wajib berterima kasih pada Ibu Fatmawati. Beliaulah yang menjahit bendera pusaka Merah Putih .
Ibu Fatmawati merupakan ibu negara pertama Indonesia. Sebagai istri ketiga presiden pertama RI Soekarno, Ibu Fatmawati menjadi ibu negara dari awal kemerdekaan Ri hingga tahun 1967.
Ibu Fatmawati lahir 5 Februari 1923 di Bengkulu dengan nama Fatimah. Orangtuanya bernama Hasan Din dan Siti Chadijah. Ayahnya adalah pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.
Ibu Fatmawati dan Soekarno pertama kali berjumpa tahun 1938 saat Soekarno diasingkan di Bengkulu. Kala itu usia Ibu Fatmawati baru 15 tahun. Tepat 1 Juni 1943, keduanya menikah.
Pasangan ini dikaruniai lima orang anak: Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia pada 3 Juli 2021 di usia 70 tahun. Wafatnya Rachmawati menjadi sebuah kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, terutama mengenang keberaniannya menyuarakan kebenaran dan keadilan.
Pada tahun 1944, Jepang menjanjikan Indonesia akan merdeka. Dalam perayaan tersebut, lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan untuk dikumandangkan dan bendera Merah Putih diperbolehkan berkibar. Saat itulah Ibu Fatmawati berpikir untuk menghadirkan bendera Merah Putih di Pegangsaan 56.
Mengutip artikel Merah Putih, Ibu Fatmawati, dan Gedung Proklamasi yang ditulis Chaerul Basri (dimuat di Harian Kompas, 16/8/01), diketahui bahwa saat itu sulit untuk mendapatkan kain merah dan putih. Semua barang berada di tangan Jepang.
Ibu Fatmawati kemudian mendapatkan kain merah dan putih setelah ditolong oleh perantara perundingan Jepang-Indonesia, Shimizu. Kain itu didapat Shimizu dari pembesar Jepang yang memiliki gudang di daerah Pintu Air. Kain itu ternyata merupakan satu-satunya kain merah dan putih yang ada di sana.
Tak hanya mendapatkan bahannya, proses menjahitnya pun dilakukan dengan susah payah. Seperti dimuat dalam buku Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka (2003) karya Bondan Winarno, Ibu Fatmawati menjahit bendera pusaka dalam kondisi tubuh yang rentan karena sedang hamil besar.
Saat itu beliau sedang mengandung putra pertamanya dan sudah dekat waktu untuk melahirkan. Beliau seringkali menjahit sambil menangis. "Berulangkali saya menumpahkan airmata di atas bendera yang sedang saya jahit," ujar Ibu Fatmawati menceritakan perjuangannya menjahit dengan mesin jahit Singer hanya menggunakan tangan, karena dokter melarangnya menggerakkan mesin jahit dengan kaki.
Ibu Fatmawati meninggal dunia pada tahun 1980 akibat serangan jantung. Beliau meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia dalam perjalanan pulang selepas menjalankan umrah.
Atas jasa beliau, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional sesuai Keputusan Presiden Nomor 118/TK/2000.
KOMENTAR ANDA