Ternyata tidak ada Taliban 2.0. Tapi juga bukan lagi Taliban 1.0.
Hari Minggu kemarin (5/9) keluar satu peraturan baru dari Taliban: mahasiswi dan siswi harus mengenakan nigab. Dipasangkan dengan abaya. Dengan demikian pakaian wajib mereka adalah jenis yang hanya kelihatan mata itu.
Berita baiknya: mereka boleh sekolah. Bahkan sekolah-sekolah swasta itu harus sudah dimulai hari Senin ini.
Di Afghanistan, Covid-19 memang bukan isu besar. Jumlah yang terkena Covid hanya 159.000. Urutan ke 95 (Indonesia urutan ke-13). Penambahan tiap harinya hanya sekitar 120 orang. Total yang meninggal 7.000. Tambah 11 orang sehari kemarin.
Ada yang bersyukur: Taliban berubah-sedikit. Ada juga yang mengecam: masih juga Taliban.
Peraturan lainnya adalah: kelas wanita harus terpisah dari kelas laki-laki.
Kelas wanita harus selesai lima menit lebih awal. Setelah yang wanita meninggalkan gedung barulah yang laki-laki ke luar kelas.
Berita baiknya: mereka boleh satu gedung. Hanya dibedakan kelasnya. Tidak harus sekolah khusus wanita. Sebelum ini, di daerah-daerah, pun di zaman pendudukan Amerika, banyak sekolah wanita juga di gedung terpisah. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Abdul Wali, mahasiswa Afghanistan yang kuliah di Institut KH Abdul Chalim, Pacet, Jatim.
Di daerah-daerah, kewajiban berpakaian nigab itu tidak mengejutkan. Itulah pakaian sekitar 30 persen wanita di Afghanistan. Bahkan yang 30 persen lagi masih burgah-yang wajahnya diberi penutup total itu. Sedang yang 60 persen pakai jilbab.
Menurut peraturan itu, guru kelas wanita juga harus wanita.
Berita baiknya: kalau tidak ditemukan guru wanita dibolehkan guru laki-laki. Dengan syarat: sudah tua dan punya track record kelakuan yang baik. Tidak dijelaskan umur berapa yang dimaksud tua. Berarti orang seperti saya boleh dipakai.
Taliban juga telah mengikat saya untuk bangun jam 02.30 tiap hari. Sepuluh atau 15 menit kemudian saya sudah mengikuti perkembangan Afghanistan lewat media-media di Pakistan. Soal sekolah itulah perkembangan terbarunya. Arah Afghanistan mulai kelihatan. Saya merasa bersyukur keliling Pakistan selama sebulan -menjelang pandemi lalu. Di sanalah saya bertemu banyak orang Pastun dan Hazara. Hanya sayangnya, saat itu, saya gagal menyeberang perbatasan.
Apa pun, sekolah di Afghanistan mulai dibuka. Sekolahlah yang akan membawa kemajuan dan perubahan. Meski perlu waktu. Internet yang akan mempercepatnya.
KOMENTAR ANDA