SETIAP ibu adalah perempuan meskipun tidak semua perempuan ditakdirkan Allah Swt. menjadi seorang ibu.
Kita banyak membaca, atau bahkan terjadi di sekitar kita, kisah mengharu-biru para pejuang dua garis. Banyak upaya ditempuh. Ada yang memilih jalan 'tradisional', mengonsumsi obat-obatan herbal dan rutin dipijat.
Ada yang memilih jalur medis, berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan lalu menjalani terapi medis. Menghabiskan biaya puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Para pejuang berikhtiar sepenuh hati. Ada yang butuh waktu berbulan-bulan, ada pula yang butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa memiliki anak. Ada pula yang tak kunjung memiliki keturunan.
Ada kalimat bijak yang mengatakan bahwa segala sesuatu akan indah pada waktunya. Dalam urusan punya anak, rasanya bukan hanya kalimat itu yang bisa menenangkan pasangan yang belum juga dikaruniai keturunan.
Perlu ditambahkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan manusia merupakan qadarullah, ketentuan Allah Swt. meskipun manusia juga diberi kesempatan untuk mengubah nasibnya dengan berikhtiar (surat Ar-Rad ayat 11).
Hanya dengan mengingat kekuasaan Sang Khalik-lah, para pejuang dua garis dapat menikmati hari-hari mereka tanpa kehilangan kesempatan untuk bersyukur akan berbagai nikmat lain yang dianugerahkan Allah Swt.
Demikian pula sebuah kalimat bijak menyatakan bahwa perempuan yang sempurna bukan semata perempuan yang melahirkan anak.
Jika kita berbicara tentang perempuan pejuang dua garis yang berikhtiar di jalan yang diridhai Allah namun belum juga dikaruniai keturunan, kalimat bijak tersebut menjadi benar adanya.
Allah telah menciptakan hamba-Nya dengan sempurna, seorang perempuan yang memiliki raga dan jiwa yang baik, serta memelihara aqidah dan ibadahnya dengan baik. Melahirkan bukan indikator yang menentukan tingginya keimanan, kesalehan, dan ketakwaan seorang perempuan. Bukan pula penentu masuknya ia kelak ke dalam surga.
Namun ketika kalimat bijak itu dipakai untuk tameng dan pembenaran terhadap pilihan diri sendiri untuk tidak mau mempunyai anak, mungkin ada baiknya kita mengucap istighfar. Sungguh tidak etis menyematkan kalimat bijak itu demi kepentingan diri sendiri tanpa peduli konteks sebenarnya.
Pantaskah seorang hamba menolak rezeki yang diberikan Penciptanya?
Ustaz M. Abduh Tuasikal menyebutkan bahwa chidfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, atau anak angkat. Penggunaan istilah childfree ini mulai muncul di akhir abad 20.
Para pendukung gaya hidup ini, salah satunya Corinne Maier—penulis buku No Kids: 40 Reasons For Not Having Children, menyatakan beragam alasan untuk tidak punya anak.
Di antara alasannya adalah karena masalah kesehatan, masalah finansial, orientasi karier, keyakinan bahwa kondisi bumi semakin buruk, serta kesadaran akan ketidakmampuan menjadi orangtua yang sabar dan bertanggung jawab.
Ustaz Abduh Tuasikal mempertanyakan sikap seorang Muslim yang memilih untuk menikah tapi tidak mau memiliki anak. Apakah ini mengikuti ajaran Nabi Muhammad?
Berikut ini dampak negatif childfree alias menikah tanpa keinginan untuk punya anak, dikutip dari laman Instagram @muhabduhtuasikal.
1. Hilang kesempatan mendapat amal jariyah dari anak yang saleh, yang pahalanya tidak terputus sekalipun orangtuanya telah meninggal dunia. Inilah kerugian terbesar.
2. Tidak mengikuti tuntutan Rasulullah untuk memiliki keturunan padahal ia mampu.
3. Tidak merasakan kesempatan memiliki qurrata a'yun (penyejuk mata) padahal ia mampu.
4. Silsilah keluarga terputus.
5. Munculnya gangguan psikologis seiring bertambahnya usia dan berkembangnya perasaan kesepian.
6. Berpotensi memunculkan gangguan kesehatan.
7. Tidak memiliki seseorang yang dapat merawat di saat tua nanti.
Ditambah lagi, kita seolah tidak meyakini bahwa Allah pasti melimpahkan rezeki (kecukupan hidup di dunia). Padahal Allah telah menjamin rezeki setiap hamba setelah ia dilahirkan ke dunia. Tinggal bagaimana kita cerdas dan bekerja keras mengejar rezeki.
Pengaruh zaman modern dan kehidupan ala Barat sudah demikian meresap ke dalam diri perempuan Muslim. Asas praktis (termasuk ekonomis) kiranya menjadi alasan paling kuat untuk berani memilih childfree.
Jika kita mengatakan tidak sanggup untuk menjadi orangtua yang baik, bukankah itu sama saja kita melecehkan kemampuan diri kita sendiri? Bukankah itu bisa memicu kecurigaan terhadap pencapaian kita selama ini, apakah itu semua hasil keringat sendiri atau hasil bantuan orang lain? Orang lain juga mungkin akan mempertanyakan kompetensi kita dalam kehidupan profesional. Semua karena kita meragukan diri sendiri atas sesuatu yang belum terjadi.
Bila pilihan childfree diambil seorang perempuan yang tidak mementingkan agama dan kehidupan spiritual, tenggelam dalam kesibukan pekerjaan, dan hidup dalam ritme yang sangat cepat seperti di negara-negara maju, kita mungkin tak terlalu heran mendengarnya. Karena mereka umumnya berorientasi pada kehidupan duniawi dan mengutamakan kesenangan pribadi.
Namun bila pilihan hidup itu digembar-gemborkan oleh seorang Muslimah, dahi kita pastilah berkerut. Tak cukupkah hadis Rasulullah saw. yang menyuruh anak untuk menghormati ibunya tiga kali lebih banyak dari menghormati ayahnya—sebagai gambaran betapa mulianya sosok ibu?
Anak sejatinya adalah rezeki yang diamanahkan kepada orangtua. Ketika dalam perjalanan hidup ternyata amanah tersebut membuat kita kecewa dan tidak bisa menjadi bekal untuk ke surga, serahkanlah kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tak ada perjuangan yang sia-sia. Di dalamnya pasti terkandung hikmah dahsyat bagi orangtua.
KOMENTAR ANDA