KOMENTAR

JAUH di mata namun dekat di hati. Begitu kira-kira kita menggambarkan hubungan mesra antara Indonesia dan Mesir.

Secara geografis, jarak dua negara beda benua ini jelas jauh, terbentang sejauh 9000-an kilometer. Namun menariknya, kedua negara sangat dekat secara historis maupun budaya. Bahkan bila kita membaca sejarah, Mesir merupakan negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada 22 Maret 1946.

Dalam sejarah juga terlihat hubungan erat yang terjalin sejak abad-18 bahkan lebih awal dari itu. "Kala itu sudah banyak masyarakat Nusantara yang berangkat ke Mesir untuk menimba ilmu ke Al Azhar di kota Kairo. Dan sebagai makhluk sosial, tentulah terjalin interaksi dengan masyarakat Mesir. Terjadilah pemahaman tentang Mesir dan sebaliknya," ujar DR. (H.C) Lutfi Rauf, Duta Besar Indonesia untuk Mesir dalam diskusi virtual RMOL World View bertajuk "Perlindungan 10 Ribu WNI di Mesir Pada Masa Pandemi", Senin (6/9/21).

"Tradisi belajar ke Al Azhar terbilang sangat tinggi. Terbukti hingga saat ini, dari sekitar 100 ribu mahasiswa asing yang belajar di Mesir, jumlah mahasiswa Indonesia yaitu 10 ribu mahasiswa adalah yang terbanyak," tambah Dubes Lutfi.

Rakyat Mesir menyadari saudara-saudara mereka di Asia Tenggara menghadapi penjajahan, dan mereka memiliki dorongan emosional untuk membantu. Karena itulah Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia hanya dalam beberapa bulan setelah proklamasi dibacakan Soekarno.

Apa yang tersaji dalam sejarah itulah yang memperkuat hubungan bilateral Indonesia dan Mesir.

Menurut Dubes Lutfi, catatan sejarah luar biasa yang terjadi antara Indonesia dan Mesir itu harus diketahui oleh generasi muda untuk memahami bagaimana para pendahulu mereka bekerja sama membangun hubungan bilateral yang harmonis.

Hubungan mesra Indonesia-Mesir juga terbangun di atas nilai Islam wasathiyah. Al Azhar yang banyak melahirkan ulama besar Tanah Air, salah satunya adalah Prof. Quraish Shihab, tentu saja membawa pengaruh Islam wasathiyah di bumi Indonesia.

"Sejak awal, Al Azhar mengajarkan ilmu keislaman yang berdasar nilai Islam wasathiyah, yang sangat identik dengan nilai-nilai yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Yaitu nilai yang mengajarkan toleransi dalam Islam, moderasi, jalan tengah, dan pentingnya menjalankan nilai-nilai wasathiyah," kata Dubes Lutfi.

Banyak ulama Indonesia yang menghasilkan karya ilmu yang memajukan nilai Islam wasathiyah untuk memajukan dan mempromosikan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam).

Hubungan Al Azhar dengan ulama Indonesia aktif mendorong moderasi Islam. Dan salah satu bukti keharmonisan hubungan tersebut adalah seringnya Grand Syekh (Imam Besar) Al Azhar berkunjung ke Tanah Air. Termasuk Grand Syekh Ahmad Ath Thayyib yang terbilang jarang mengadakan kunjungan luar negeri namun sudah dua kali datang ke Indonesia pada tahun 2016 dan 2018.

Hubungan baik antara Indonesia-Mesir tak hanya tercipta antara people to people dalam bidang sosial budaya tapi juga secara formal dalam hubungan diplomatik dua negara.

Dubes Lutfi menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah RI sudah jelas, bahwa dalam kebijakan luar negeri yang menjadi prioritas adalah diplomasi ekonomi. Artinya, perwakilan RI di luar negeri (sebagai mesin diplomasi) harus proaktif melakukan diplomasi ekonomi, mencari peluang untuk produk-produk Indonesia di mancanegara. Termasuk juga mengembangkan kerja sama ekonomi dari tingkat pasar tradisional ke pasar nontradisional.

"Dalam kaitan tersebut, semua (perwakilan luar negeri) berusaha untuk melanjutkan kerja sama yang sudah terbangun baik sejak dulu. Kami berusaha mempromosikan produk Indonesia yang memiliki potensi di masyarakat Mesir. Yang menarik, ketika banyak aktivitas ekonomi menurun secara bilateral di masa pandemi, perdagangan Indonesia-Mesir justru cenderung meningkat. Ada kenaikan 3.2% dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Bahkan di semester pertama 2021 terlihat peningkatan 37.47%. Inilah mengapa kita beruntung memiliki mitra kerja seperti Mesir," terang Dubes Lutfi.

Dengan perekonomian global yang tertatih selama pandemi, Mesir justru mencatat pertumbuhan ekonomi positif pada kurun 2019-2020. Dan tahun 2020-2021 juga diperkirakan akan mencatat pertumbuhan positif 2.3%.

Ini berarti potensi ekspor produk Indonesia sangat terbuka. Termasuk salah satu dari 10 produk ekspor Indonesia teratas adalah kopi. Pertumbuhan ekspor kopi hingga Mei 2021 bahkan naik 38%, demikian diterangkan Atase Perdagangan KBRI Mesir Irman Adi Purwanto Moefthi.

Menariknya, tidak hanya potensi ekspor Indonesia-Mesir untuk kopi yang dinikmati langsung masyarakat Mesir, tapi juga potensi untuk re-ekspor kopi dari Mesir ke negara-negara lain. Di Mesir, kedai kopi mengolah kopi robusta dengan campuran rempah-rempah dan kopi 'olahan' itu bisa diekspor lagi ke luar Mesir.

Adanya perjanjian perdagangan bebas alias free trade agreement menjadikan peluang ekspor semakin terbuka luas. Kondisi ini tentu harus dimanfaatkan tidak hanya untuk kopi tapi juga produk Indonesia lainnya, terutama produk yang berbasis pangan seperti perikanan maupun minyak sawit.

Dengan memanfaatkan ketahanan ekonomi Mesir dan daya beli yang tinggi, Indonesia harus terus mengembangkan potensi ekonomi di Mesir yang belum digarap maksimal. Tantangan bagi pelaku usaha terletak pada penyediaan, keberlanjutan, kualitas, dan pemeliharaan. Dengan begitu barulah terbangun kepercayaan yang menjadi kunci utama perdagangan.




Donald Trump vs Kamala Harris, Siapa Bakal Menang?

Sebelumnya

Dukung Riset dan Publikasi Ilmiah, Kantor Wilayah Kemenkumham DKI Jakarta Luncurkan Jurnal Yustisia Hukum dan HAM “JURNALIS KUMHAM”

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News