BANYAK di antara kita (baca: istri) mengeluhkan suami tak sesuai harapan. Dulu, semasa muda belia, laki-laki itu seolah sosok ideal. Baik perilakunya dan bertanggung jawab. Ditambah wajah lumayan ganteng dan selera humor yang cukup baik, sosoknya begitu memesona.
Namun tahun demi tahun berlalu. Lebih dari 10 purnama terlewati, sosok itu entah mengapa menjadi 'biasa-biasa saja' bahkan memudar. Tidak ada yang istimewa.
Karier stabil meski tidak melonjak. WFH membuat pagi hingga petang terasa begitu singkat, dipenuhi berbagai rapat virtual. Perekonomian keluarga datar saja. Meski perusahaan tempat suami bekerja sering diterpa badai finansial, masih ada pemasukan tetap setiap bulan tetap disyukuri.
Kegagahan suami di masa muda hampir tak tersisa. Masuk usia 40, perut yang semakin maju tak bisa disembunyikan. Helai rambut berwarna putih mulai tampak di sana-sini sementara rambut pun mulai menipis. Mudah lelah, juga sering mengeluh sakit kepala.
Semakin bertambah usia pernikahan tak seiring dengan bertambahnya kemesraan. Jika dulu berapi-api, kini api itu tak lagi berkobar. Meski sesekali masih ada kecupan mendarat di dahi.
Pertengkaran hebat memang tak pernah terjadi. Tapi makin ke sini, rasanya perbedaan sudut pandang justru makin lebar. Padahal banyak orang mengatakan kekompakan akan lebih terasa setelah melewati satu dekade pernikahan. Nyatanya tidak.
Batin kita meronta. Mengapa jadi begini? Begitu tanya hati kita.
Dulu, kita membayangkan rumah tangga akan harmonis dan romantis. Dikaruniai anak yang patuh pada orangtua, cantik rupa juga perangainya. Hidup dalam tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Bukankah hidup adalah tentang pencapaian?
Jika resah itu melanda, seorang istri hendakah mengingat kalimat bijak ini: mengadulah daripada mengeluh.
Menepilah sesaat. Menepi untuk merenungkan kembali segalanya.
Kekuatan seorang istri sejatinya terletak dalam doanya. Munajat yang disertai keikhlasan dan kesungguhan yang terkandung dalam bulir-bulir air mata.
Menepilah sejenak. Menepi untuk mengingat kembali betapa sesungguhnya suami adalah sosok baik yang kebaikannya tak pernah mengharap balasan.
Karena kekuatan seorang istri terletak pada air mata dan keikhlasan doanya. Untaian doa tanpa lelah yang mengalir dari hati yang mengharap keridhaan Allah dan ridha suaminya. Terutama jika doa itu mengharapkan kebaikan untuk suami tercinta.
Sosok istri memang seharusnya lemah lembut dan penuh kasih. Namun di balik kelembutan itu ada kekuatan besar yang mampu menentukan kebahagiaan keluarga. Ini bukan sekadar kalimat "happy wife happy family" atau "happy mom happy kids" melainkan kekuatan yang bisa 'menyentuh' Arsy untuk menghadirkan kebahagiaan hidup yang hakiki.
Sebelum mengeluhkan sikap suami, mari kita mendoakannya.
Kita mungkin tidak bisa mengubah perilaku suami dengan mimik wajah, bahasa tubuh, kata-kata, maupun tindak-tanduk kita. Tapi yakinlah bahwa kita bisa membuatnya menjadi imam yang lebih baik melalui 'campur tangan' Allah sebagai jawaban dari doa-doa kita selama ini. Dan doa kita pun mampu mengubah suasana suram dalam keluarga menjadi suasana yang cerah dan penuh suka cita.
"Ya Allah, ampunilah segala dosa-dosa suamiku tercinta, jadikanlah ia hamba yang taat pada-Mu, hamba yang menjauhi semua larangan-Mu, suami yang menyayangi istri dan ayah yang menyayangi anak-anaknya, kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, pribadi yang berakhlak karimah dalam menuntun anak istrinya agar istiqamah di jalan-Mu. Ya Allah Yang Mahakuasa, lindungilah suamiku dari godaan syaitan dan dari kejahatan orang yang zalim...."
KOMENTAR ANDA