Wartawan senior Ilham Bintang saat berada di The Parlor Rancakendal Luhur 9, Dago, Bandung/Ist
Wartawan senior Ilham Bintang saat berada di The Parlor Rancakendal Luhur 9, Dago, Bandung/Ist
KOMENTAR

BERSANTAP di The Parlor Rancakendal Luhur 9, Dago, Bandung, Selasa siang (21/9). The Parlor ternyata bukan cafe  biasa. Menunya banyak, dari masakan Sunda, Indonesia hingga Western. Parlor, diadopsi dari bahasa Perancis, yang artinya Ruang Tamu.

Berdiri di atas  lahan  sekitar 5.000 meter persegi, The Parlor memiliki banyak ruang duduk/ruang makan outdoor. Tampaknya, itu salah satu selling point, yang memberikan rasa aman  dan rasa nyaman di masa pandemi. Maklumlah. Bersantap saja pun di masa pagebluk Covid19, perlu ruang yang menjamin tamu cukup leluasa untuk ambil jarak sesuai protokol kesehatan.

Resto ini memiliki banyak spot foto yang bersebaran di area, menjadi salah satu daya pikatnya. Ada jajaran kontainer di lantai atas menyerupai gerbong kereta layang.

Tiga cucu yang ikut: Dastan, Darsiv, dan Dahim, merasa nyaman bermain selama berada di sana. Itu menjadi ukuran, sekurangnya buat saya, cafe ini layak untuk keluarga.

Sekeliling resto terbuka tanpa sekat: mengalirkan sinar matahari dan angin yang dingin khas perbukitan. Keramahtamahan karyawannya, khas Sunda, menambah kenyamanan, pengunjung seperti berada di rumah sendiri.

Bagaimana deengan menunya? Saya memilih Sop Buntut Bakar. Tidak salah kalau Heri Yurisfin Rivano, salah satu owner bisnis keluarga itu, menjagokan sop buntut bakar tersebut sebagai menu favorit restonya. Faktanya memang begitu, lezat. Daging sop buntutnya empuk, dengan kuah yang bumbunya maknyus.

Istri dan menantu memilih menu ikan dori sambal matah. Sedangkan cucu-cucu bersantap steak ayam. Susternya bersantap nasi goreng. Semua enak, disantap sampai habis.

Oh, iya, saya juga memuji wedang uwonya. Harganya relatif murah untuk makanan lezat. Heri pun memberi diskon 20 persen untuk makanan tadi sebagai pengunjung baru.

Alam dan Kreasi Kuliner

Bandung memang bukan cuma Kota Kembang. Julukannya yang lain, kita sudah tahu: Kota Kuliner. Julukan itu sudah melekat sejak zaman dulu.

Ungkapan pomeo klasik: tidak sah berkunjung ke Bandung jika hanya menikmati suasana alamnya yang sejuk tanpa menikmati kuliner. Dari Siomay, Batagor, Laksa, Bubur Ayam, Ayam Goreng Nikmat, Nasi Goreng Pikiran Rakyat, Warung Lela, Mak Une, Sate Kambing Haji Harris langganan Deddy Mizwar, mantan Wagub Jabar.

Ada juga pelbagai menu western  yang di-create khas Bandung oleh para jurumasak Kota Perjuangan itu. Tampaknya para pengusaha kuliner zaman now ini tidak hanya  menawarkan "food" tetapi juga "mood" yang di-create sedemikian rupa untuk memanjakan tamu.

Seperti yang bisa kita rasakan di Kampung Daun atau Nara Park Ciembeliut yang bagai  panggung festival kuliner dari berbagai resto di dalam satu area wisata alam. Dari masakan Sunda, Indonesia, Jepang, Korea, hingga Western. Memadukan alam dengan kuliner. Untuk menyasar pengunjung bersantap dengan seluruh  anggota keluarga.

Tapi, untuk  urusan itu, tampaknya Kawasan Dago lah jagonya. Daerah ini terkenal sebagai wilayan perpaduan perbukitan dan pemandangan alam yang indah dan dingin menjadi salah satu obyek  wisata kuliner yang sohor di Bandung.

Pengusaha wisata Kuliner di Dago seperti dilecut untuk terus berlomba menyajikan makanan dan suasana yang bisa membuat pengujungnya, seluruh keluarga, betah.

Refund Tiket Garuda

Kisah The Parlor ada ihwalnya. Awal tahun lalu, saya batal Umroh  ke Tanah Suci, karena pandemi. Pas di hari keberangkatan 27 Februari 2020 lalu, Pemerintah Arab Saudi membatalkan semua visa jemaah Umroh dari seluruh dunia.

Dampaknya, tiket pesawat sulit di refund karena kondisi maskapai Garuda Indonesia pas pula hadapi masalah finansial yang serius.

Waktu itu, seorang kawan, direktur Garuda menjamin tiket tetap bisa direfund dengan voucher senilai nominal harga tiket.

Setahun berlalu, saya terlewatkan urusan itu. Kawan direktur sudah pula berhenti dari jabatannya.

Minggu lalu, saya coba  urus lagi. Namun, counter Garuda Indonesia di Mal Puri Indah sudah tutup. Saya mengontak kawan di Bandung, Heri Yurisfin Rivano. Dia pensiunan dini Garuda dengan jabatan terakhir GM Quality Control. Ia pun dengan senang hati membantu. Satu jam urusan selesai. Saya dapat voucher Garuda yang nilainya sama dengan dua tiket umrah kelas bisnis.

Ketika awal minggu ini saya trip  di Bandung saya kontak Heri untuk mengucapkan terima kasih. Dari dia lah saya mendapat rekomendasi The Parlor untuk bersantap siang bersama anak cucu.

Dibuka Desember 2015

Berdasar informasi di internet, The Parlor pertama kali buka tanggal 15 Desember 2015. Praktis sejak itu The Parlor ini selalu ramai dikunjungi pemburu food dan mood. Arsitektur bangunannya yang bertema industrial, terpampang pada desain jendela dan kontainer-kontainer berada di tingkat atas.

Bangunan The Parlor berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, bagian dari lahan seluruhnya seluas 6 hektare.

"Nantinya akan dibangun banyak villa di atas lahan itu," kata Heri. Heri ternyata salah satu owner The Parlor. Bisnis resto itu milik keluarga. Yang diserahi menangani adik bungsu Heri.

Di setiap sudut The Parlor diisi dengan  desain interior yang apik, aksen serba kayu perabotannya dan di ruangan memberi kesan nyaman dan hangat. Dilengkapi dengan sentuhan modern ala anak muda berupa lampu neon dan mural-mural yang terpampang dibeberapa dindingnya. Siang ataupun malam tempat-tempat di The Parlor siap menjadi spot foto terbaik bagi pengunjung yang senang berselfie ria.

Bermaksud memanjakan lifestyle kalangan anak muda, di The parlorpun terdapat jejeran toko fashion, aksesoris, dan sneakers yang dihuni oleh brand ternama seperti Greenlight, 3Second, Moutley, Famo, Tesmak, dan brand lainnya.

Berbagai perlengkapan bagi para penggemar atau komunitas motor ada di store-nya FMC (Famo Motorcycle) dan Pikers Club.

Terhampar amphitheater kecil yang bisa dijadikan tempat pertunjukkan seni. Di bagian atas, sudah disiapkan ruang untuk art gallery yang dinamai The Space dan art shop, The Artsy. Wadah  untuk para pelaku seni yang ingin memamerkan sekaligus menjual karya-karyanya.

Menu andalannya seperti yang sudah disebut adalah sop buntut dan pizza khas The Parlor yang dibuat secara khusus dengan resep asli dari Italia. Untuk minuman andalannya ada varian blended drinks dan tentunya sajian kopi authentic dari The Parlor.

Sebagaimana usaha yang lain The Parlor pun terdampak pandemi Covid19 sejak awal tahun lalu. Beberapa rencana pengisian kelengkapan resto untuk menjadi one stop holiday ikut tertunda pembangunannya. Baru akan dilanjutkan kembali. Termasuk pembangunan villa-villa.

Hampir dua tahun manajemen fokus konsentrasi operasional sehari-hari The Parlor. Beruntung saja mereka sudah punya pelanggan loyal. Ia diuntungkan juga oleh venunya yang terbuka, sehingga resto dengan konsep baru itu tetap jalan.

Penulis adalah wartawan senior




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News