IBU-IBU berkumpul, lalu kompak meneteskan airmata, sedangkan yang bercerita (setidaknya) kelihatan tegar-tegar saja. Padahal kisahnya memang memilukan hati. Anaknya yang di usia enam tahun meninggal dunia akibat sakit. Kemudian, anaknya yang satu lagi meninggalnya mendadak pula dalam sebuah kecelakaan.
Kini, hidupnya sendiri, sepi, sunyi, dan tentunya amat kehilangan. Kisah ini memang menyedihkan. Wajar saja jika cukup banyak airmata yang tumpah.
Kadang kala kita bisa saja dilanda kebingungan, entah mana musibah yang paling berat, karena banyak orang yang kehilangan keluarga tercinta yang mati mendadak, tanpa diduga, hingga sangat mungkin secara psikologis dirinya tidak siap.
Segalanya balik lagi kepada kekuatan hati masing-masing. Orang yang kematian anak kucingnya bisa jadi juga terpukul sebagaimana menghadapi kematian anak kandungnya.
Dari itu pula sering terdengar nasihat tatkala mengalami kemalangan, agar kita mengikhlaskannya. Setiap orang punya hati, tetapi tidak setiap hati memiliki ikhlas. Di saat ditinggal pergi apalagi ditinggal mati, ilmu ikhlas itu akan kian terasa urgensinya.
Sebagaimana kehidupan itu sendiri yang merupakan perjalanan, maka untuk mendapatkan keikhlasan pun ada perjalanan yang perlu ditempuh, entah itu panjang, lama, atau berat.
Balik lagi kepada perihnya musibah ditinggal mati oleh orang tercinta, semoga saja akan lebih menggugah tatkala kita hamparkan dulu bait-bait sajak. Sebagaimana Abu Al-‘Itahiyah dalam nazham puisinya berdendang:
Bersabarlah atas setiap musibah dan tabahlah.
Ingat bahwa jiwa manusia tidak kekal.
Atau, Anda tidak tahu bahwa musibah itu bagaikan wig.
Kamu melihat obsesi hamba dengan teropong.
Barang siapa tidak tertimpa musibah, ia termasuk orang yang melihat musibah.
Ini adalah jalan bahwa Anda tidak sendirian.
Bila Anda teringat Muhammad saw. dan ujiannya.
Maka, bandingkan musibah Anda dengan musibahnya. (dikutip dari Muhammad Al-Manjabi Al-Hanbali dalam bukunya Menghadapi Musibah Kematian)
Nabi Muhammad pernah dianugerahi oleh Allah beberapa kali anak laki-laki, tetapi semuanya meninggal dunia ketika masih kecil, di antaranya yang bernama Abdullah dan Qasim. Dan untuk masyarakat Arabia yang memuja maskulinitas, kematian anak laki-laki dapat digolongkan sebagai bencana besar, sebagiannya memandang itu umpama petaka.
Kematian anak lelaki Rasulullah yang paling melegenda adalah kepergian Ibrahim bin Muhammad. Suatu kejadian yang benar-benar memukul lubuk batin terdalam Rasulullah.
Rizem Aizid dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam Terlengkap menerangkan, Ibrahim adalah putra Nabi Muhammad dengan Maria. Ibrahim hanya hidup selama 18 bulan. Nabi Muhammad menyaksikan ketika dia menghembuskan napas terakhir.
Sambil meneteskan airmata, Nabi Muhammad berkata, “Mata boleh meneteskan airmata. Hati boleh bersedih. Tetapi, kita tidak boleh mengucapkan kalimat yang tidak diridhai Allah.”
Menilik dari apa yang dialami Nabi Muhammad, maka tidak ada salahnya juga kalau ibu-ibu itu bersedih hati dan bahkan menangis berjamaah.
Akan tetapi, tidaklah bijak jika berhenti hanya bercucuran airmata. Kematian hanyalah perkara waktu, cepat atau lambat ajal akan menjemput kita dan juga orang-orang tercinta. Dari itu, kita perlu menaikkan level diri tatkala mengalami musibah kematian ini.
Apabila kita tidak segera menata hati, bisa-bisa kesedihan itulah yang menyesatkan diri kita, hingga menyimpang dari jalan kebenaran yang digariskan Tuhan.
Lalu apa yang dapat kita lakukan dalam lautan duka itu?
Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Memaknai Kematian mengungkapkan, menurut Ibnu Qayyim, yang menghapus dosa setelah kita meninggal adalah istighfar dari saudara-saudaranya kaum muslimin.
Dalam Al-Qur'an disebutkan (surat Ibrahim ayat 41, yang artinya), “Tuhan kami, ampunilah diriku, kedua orang tuaku, dan seluruh kaum mukminin dan mukminat pada hari perhitungan nanti.”
Istighfar yang kita kirimkan untuk saudara-saudara kita yang meninggal dunia, menjadi penghapus dosa-dosanya. Dan itulah arti firman Tuhan (surat Al-Maidah ayat 2, yang artinya), “Hendaknya kamu saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan.” Bantulah orang-orang yang sudah mati itu dengan kebajikan kita. Antara lain dengan istighfar. Doa-doa dari orang saleh juga dapat menjadi pembersih dosa.
Anak-anak kita yang lebih dulu menghadap Tuhan, masih bisa kita bantu dengan istighfar, doa dan amal kebajikan. Dan ini pula yang dapat menguatkan hati kita menerima perpisahan yang teramat cepat.
Jadi, ikhlas itu bukan bermaksud kita diam merenung saja menenggelamkan diri dalam kesedihan. Bersama ikhlas, bahkan kita dapat melakukan berbagai hal bermanfaat membantu mereka yang terlebih dulu menemui ajalnya.
Dan penting kita sadari, kematian bukanlah akhir, melainkan awal dari kebahagiaan paripurna, karena kematian membuka gerbang menuju Tuhan. Kematian bukan pula perpisahan abadi, malahan kematian itu yang akan mempertemukan kita kembali bersama orang-orang tercinta di tempat terbaik, yakni surga-Nya.
KOMENTAR ANDA