Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SURGA itu didefinisikan sebagai kebahagiaan sejati. Namun untuk bisa menikmati kenikmatan jannah yang dijanjikan Allah Swt. itu, manusia mesti melalui kehidupan yang dipenuhi ketidakmudahan.

Sebagai hamba Allah, sebuah keharusan bagi kita untuk bisa memantaskan diri di hadapan-Nya. Berjuang untuk menjadi pribadi yang semakin baik setiap harinya, baik dari tutur kata maupun tindakan. Memperkuat hablumminallah sembari menjaga apiknya hablumminannas.

Siapa pun tahu, untuk bisa menikmati surga sejati yang abadi, kita mesti mampu mengatasi segala godaan yang bisa membuat kita berpaling ke jalan lain. Salah satu godaan itu datang dalam bentuk "kepuasan hati".

Kepuasan adalah sesuatu yang nilainya subjektif. Ada hal-hal yang menurut kita sudah membuat puas, tapi tidak bagi orang lain. Karena itulah, kepuasan hati bisa menjadi petaka apabila kita tidak mampu mengelolanya dengan baik.

Dalam hal memerjuangkan kehidupan di dunia, ada orang yang berpendapat bahwa kita tidak boleh berpuas diri dengan apa yang telah kita capai. Karena berpuas diri sama artinya dengan merasa paling hebat dan tidak perlu memperbaiki diri.

Pendapat itu di satu sisi ada benarnya. Namun perlu diingat, ketidakpuasan yang kita rasakan lebih kepada keinginan untuk terus berinovasi dan mengembangkan kemampuan diri. Bukan lantas menyesali apa yang sudah kita lakukan dan mencari orang untuk dijadikan kambing hitam atas ketidakpuasan kita.

Sebaliknya, dalam beribadah kepada Allah, seringkali kita merasa cepat puas dengan apa yang sudah kita lakukan. Salat, puasa Ramadan, zakat, dan naik haji. Sudah kita lakukan. Padahal masih banyak sekali amalan sunnah dan amal jariyah lain yang berpahala serta bisa memuluskan jalan kita masuk ke surga-Nya.

Pantaskah berpuas diri terhadap ibadah yang kita lakukan bila kita masih cuek melihat tetangga kesusahan? Pantaskah kita merasa ahli ibadah ketika kita memilih begadang hingga dini hari untuk menonton film lalu terlelap sesaat sebelum azan Subuh berkumandang? Pantaskah kita dipuji orang atas kesuksesan yang diperoleh dengan jalan mencontek bahkan menghancurkan orang lain?

Jika kita sangat mendambakan surga yang sejati di akhirat kelak, kita lebih dulu harus menciptakan surga di hati. Surga di hati akan tercipta manakala kita memahami kapan kita bisa berpuas diri dan kapan kita tidak boleh berpuas diri.

Kita menghargai setiap jerih payah usaha yang kita lakukan. Kita tidak merasa dengki dengan pencapaian orang lain. Dan kita memahami bahwa fokus pada kualitas diri sendiri jauh lebih penting dari pada memaksakan diri memenuhi ekspektasi orang lain. Jika kita tidak pernah merasa puas dengan dunia, maka pikiran dan hati kita tidak akan bisa mensyukuri berbagai pemberian Allah.

Rasa tidak puas hanya boleh dipelihara dalam urusan ibadah. Seperti dalam sebuah hadis Rasulullah saw.,"Wahai sekalian manusia, kerjakanlah amalan-amalan semampu kalian. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan. Dan sungguh, amalan yang paling dicintai oleh Allah yaitu yang dikerjakan secara terus-menerus walaupun sedikit." (HR. Bukhari & Muslim)

Sepintas, hadis itu seolah menyuruh kita melakukan ibadah semampu kita. Namun jika kita mau berpikir lebih dalam, hadis itu merupakan motivasi Rasulullah untuk umatnya agar mengerjakan sebanyak-banyak ibadah dengan konsisten. Karena manusia sejatinya adalah khalifah, makhluk paling sempurna yang memiliki kekuatan dahsyat untuk mengerjakan segala bentuk amal saleh.

Dan yakinlah ketika kita tidak merasa puas dengan ibadah bahkan ingin semakin mendekat kepada Sang Khalik, saat itulah kita telah mampu menciptakan surga di hati. Insya Allah.

 

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur