KOMENTAR

PARA ulama tasawwuf menjadikan perjalanan menuju Allah berakhir pada ma'rifah (pengenalan kepada Allah). Namun bukan berarti orang yang tidak mengamalkan tasawwuf tidak dituntut mengenal Allah.

Dalam Alquran, jelas ada perintah fa'lam annahu laa ilaaha illallaah (QS. Muhammad: 19) yang artinya "ketahuilah bahwa sesungguhnya Dia itu tidak ada Tuhan selain Allah".

Secara hakiki, memang tidak mungkin kita mau patuh kepada sesuatu yang tidak kita kenal. Demikian pula dalam hal ibadah.

Menurut Prof. Quraish Shihab, tidaklah sah ibadah yang diperintahkan oleh sesuatu yang kita tidak kenal. Islam mengatakan bahwa semua ibadah yang tidak diperintahkan oleh Allah tidak boleh dilakukan.

Karena itulah, dalam konteks beribadah kepada Allah, seorang Muslim mesti mengenal Allah. Pengenalan itu tentulah berbeda seperti pengenalan terhadap orang lain. Kita harus mengenal Allah meskipun tingkat pengenalan terhadap-Nya akan berbeda antara satu hamba dengan hamba lain.

Semua manusia telah Allah berikan potensi untuk mengenal-Nya. Itulah yang dinamakan fitrah. Seperti penggalan ayat 30 surah Ar-Rum, fithratallahil latii fatharan naasi 'alaihaa, jelaslah bahwa dalam diri setiap manusia ada pengenalan terhadap Allah. Fitrah itu bahkan dinamai oleh para ilmuwan sebagai God Spot yang ada dalam diri manusia. Itulah yang mendorong manusia kepada Tuhan.

Maka secara fitrah, ketika kita mengalami kesulitan dalam hidup, jika kita meminta bantuan kepada manusia lain namun tidak ada yang bisa membantu, kita akan meminta ke 'atas'. Seperti halnya kaum musyrikin yang menyembah berhala. Alquran menceritakan saat mereka berada di laut dan dilanda ombak besar, mereka tidak meminta kecuali kepada Allah Swt.

Dalam diri kita, sejatinya ada pengenalan terhadap Allah.

Seseorang yang berusaha menghilangkan kegelisahan menyangkut wujud Tuhan dan mengatakan Tuhan itu tidak ada, maka ia akan semakin gelisah. Mengapa? Karena hal itu bertentangan dengan fitrahnya.

Sementara itu di sisi lain, banyak di antara kita yang ingin mengenal Allah lebih dekat. Cara yang digunakan beragam. Salah satunya adalah dengan akal.

Harus dipahami bahwa dalam Alquran dan kitab-kitab sebelumnya tidak pernah dibahas tentang wujud Allah. Karena itulah aksioma yang ada tentang keesaan Allah.

Ada orang yang menggunakan akalnya untuk mengenal Allah, itu tentulah suatu hal yang baik. Namun jika orang tersebut menggunakan akal melampaui batas untuk membuktikan wujud Allah, bahkan sampai ingin mengenal Dzat-Nya, dia tidak akan bisa. Ulama berkata, kita tidak bisa menatap matahari apalagi menatap pencipta matahari.

Namun kita perlu mengenal Allah. Karena kita diminta patuh kepada Allah, maka kita mesti mengenal Allah. Kita bahkan diperintahkan untuk mencintai Allah, maka kita harus mengenal-Nya.

Karena itulah Allah memperkenalkan diri-Nya kepada kita. Bahwa Dia adalah Allah, Khalik yang memiliki berbagai sifat yang menggambarkan Dzat-Nya. Pengenalan Allah terhadap diri-Nya kepada kita menjadi 'unik' karena keterbatasan kita sebagai makhluk dan ketidakterbatasan yang Allah miliki.

Allah memperkenalkan diri-Nya dalam bentuk yang diketahui manusia dalam keterbatasannya. Dikatakan bahwa Allah Maha Mendengar, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mengetahui, dan lainnya.

Namun Allah menguncinya dengan laisa kamitslihi syaiun. Bahwa tidak ada sesuatu yang menyerupai sesuatu yang seperti-Nya. Lebih tidak ada lagi yang seperti-Nya. Dan sudah pasti tidak ada yang sama dengan Dia.

Allah memperkenalkan diri melalui Asmaul Husna, melalui sifat-sifat yang dipahami manusia secara dzahirnya. Namun hakikatnya yang dibayangkan manusia itu tidaklah sama dengan Dzat Allah.

Sudahkah kita mengenal Allah?

Hanya dengan mengenal Allah, kita akan mampu beriman, mencintai-Nya, taat, dan berakhlak seperti sifat-sifat Allah dalam Asmaul Husna.

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur