KOMITE The Nobel memberikan Noble Peace Prize kepada jurnalis Filipina Maria Ressa karena perjuangannya membela kebebasan berekspresi di negaranya.
Penghargaan yang sama juga diberikan kepada Dmitry Muratov, jurnalis senior Rusia sekaligus co-founder dan editor Novaya Gazeta. Keduanya terpilih dari 329 kandidat.
Keduanya dinilai sebagai representasi para jurnalis di seluruh dunia yang membela idealisme kebebasan berekspresi.
Maria dan Dmitry dikenal dengan investigasi yang membuat para pengambil keputusan di negera mereka marah. Keduanya juga kerap menghadapi ancaman yang serius.
Maria dan Dmitry menekankan urgensi kebebasan pers yang selama ini terbentur banyak kepentingan pribadi maupun kelompok.
Siapa Maria Ressa?
Maria dipuji karena menggunakan kebebasan berekspresi untuk membuka penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan sikap otoriter yang berkembang di negaranya, Filipina.
Maria Ressa (58) adalah co-founder situs berita Rappler yang hadir sejak tahun 2012.
Rappler telah memiliki 4,5 juta pengikut di Facebook. Rappler dikenal luas dengan analisis yang cerdas dan investigasi yang tajam. Rappler menjadi satu di antara segelintir media yang berani melempar kritik terbuka untuk Presiden Rodrigo Duterte dan kebijakan-kebijakannya.
Bersama Rappler, Maria gencar menulis tentang perang terhadap narkoba yang dijalankan presiden, namun juga mengkritik isu misogini, pelanggaran HAM, dan korupsi.
Maria dihadapkan pada banyak kasus hukum yang menurutnya bernuansa politis. Hal itu merupakan langkah pemerintah untuk mengamankan legitimasi.
Pada tahun lalu, ia juga dituduh melakukan pencemaran nama baik yang tampak sebagai ujian bagi kebebasan pers di Filipina. Ia didera banyak fitnah hingga tuduhan lari dari kewajiban membayar pajak. Namun berbagai tekanan yang diberikan pada Maria tidak memberhentikan langkahnya dan Rappler untuk terus kritis terhadap penguasa.
Rappler dalam pernyataan resminya menulis bahwa Nobel untuk Maria merupakan sesuatu yang membuat mereka tersanjung sekaligus tercengang.
"Penghargaan ini datang di waktu yang terbaik—suatu waktu ketika para jurnalis diserang dan kebenaran dihancurkan. Tanpa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, akan sangat sulit untuk menyebarluaskan upaya mewujudkan persaudaraan antarbangsa, pelucutan senjata, dan tatanan dunia yang lebih baik di zaman ini," tulis Rappler.
Mengomentari kemenangannya, suara Maria tak bisa menutupi keterkejutannya. "Kemenangan ini menunjukkan bahwa komite Nobel Peace Prize menyadari bahwa sebuah dunia tanpa fakta berarti dunia tanpa kebenaran dan kepercayaan," ujarnya kepada BBC.
Maria juga menceritakan betapa sulitnya Rappler untuk konsisten menjalankan tugas jurnalistik. Ancaman pemerintah memberedel situs berita itu ibarat makanan sehari-hari. Tapi, Maria dan kawan-kawan tetap berusaha berdiri tegak untuk memastikan konstitusi Filipina berjalan di jalur yang tepat.
"Rasa saling percaya adalah hal yang menyatukan kita semua. Hanya dengan kepercayaan itulah kita mampu menyelesaikan berbagai permasalahan kompleks yang kita hadapi saat ini. Ketika Anda menyerang media, Anda menembak si pembawa pesan, kita mencoba menyelesaikannya dengan berbagai cara. Tapi itu memperlihatkan betapa sulitnya menjalankan peran jurnalis saat ini. Rappler, (Penghargaan Nobel) ini untukmu, ini adalah penyemangat untuk kita terus berjuang untuk menghadirkan kebenaran."
Maria dan Dmitry merupakan pemenang ke-102 Nobel Perdamaian. Di antara para tokoh dunia yang pernah meraih penghargaan bergengsi ini adalah Mother Theresa (1979), Barack Obama (2009), dan Malala Yousafzai (2014).
KOMENTAR ANDA