TIDAK ADA angin tiada hujan, tiba-tiba saja perempuan itu hamil. Makin lama kehamilannya makin membesar, dan semakin meresahkan warga sekitarnya. Ibu-ibu tetangga menjadi panik, soalnya setahu mereka perempuan itu seorang lajang.
Jelas sekali keajaiban Maryam yang mengandung Nabi Isa tanpa suami tidak mungkin terulang. Suami-suami mereka pun tidak tenang hidupnya, karena dicurigai oleh istrinya.
Selain para suami yang gelisah, perempuan itu pun tidak kalah tersudutnya oleh kepungan fitnah. Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi adat ketimuran, perempuan hamil mendadak tanpa jelas kapan menikahnya tidak dapat dipandang sebagai hal yang biasa-biasa saja.
Dari mulanya hanya bisik-bisik tetangga, akhirnya kehamilan perempuan itu berubah menjadi fitnah dahsyat. Terlebih perempuan itu cenderung membatasi diri dari pergaulan, maka makin meluaslah badai fitnah itu.
Syukurlah ada yang berpikir bijaksana dengan berupaya mencari penjelasan yang sejernih-jernihnya. Beberapa tokoh masyarakat menemui perempuan itu hendak tabayyun, meminta penjelasan perihal fitnah yang kini meresahkan, yang berpangkal dari kehamilan yang tiba-tiba.
Syukurnya lagi, akhirnya perempuan tersebut mau berterus-terang dirinya telah menikah siri, dan kehamilan itulah hasil karya mereka. Kok nikah siri sih? Kenapa diam-diam? Usut punya usut, ternyata suaminya tergolong pesohor di Tanah Air.
Para pemuka masyarakat itu menyayangkan tidak adanya informasi, setidaknya kepada kalangan terbatas, agar penikahan plus kehamilan dirinya tidak menimbulkan fitnah. Tetapi, meski terlanjur heboh, penjelasan dari perempuan itu lumayan menenangkan keadaan.
Jadi, para lelaki di lingkungan sekitar tidak perlu terganggu ketenangan hidup mereka. Ibu-ibu pun tak perlu resah. Dan badai fitnah itu hendaknya dapat diakhiri, meskipun tidaklah gampang menuntaskannya. Ya, namanya fitnah, ada saja pihak yang doyan mengipasinya.
Ini hanyalah suatu contoh kasus saja, yang mana fitnah itu terkadang muncul dari faktor diri kita sendiri yang sengaja atau tidak telah memancingnya.
Fitnah memang tidak mengenakan, dan akan lebih baik apabila diri kita melakukan tindakan preventif atau pencegahan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Mencegah fitnah lebih ringan urusannya ketimbang meredam kobaran fitnah yang terlanjur meluas dan menelan banyak korban.
Fitnah itu kata yang buruk. Takut sekali orang kalau sampai terjadi fitnah, apalagi kalau-kalau dirinya disebut biang fitnah. Dan sayangnya, ketakutan terhadap fitnah itu kadang juga dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadinya.
Misalnya, seorang gadis yang teramat galau ketika dilamar oleh seorang lelaki. Portofolio pria itu cukup membuat keder, dia alumni perguruan tinggi Islam ternama di Arab. Dia penceramah yang disegani, orang-orang yakin ilmu pengetahuannya teramat luas.
Masalahnya, gadis itu berterus-terang dirinya tidak ada perasaan apa-apa, sedikit pun tidak ada. Terlebih dirinya belum mau menikah dan lebih memilih untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Lelaki itu memberi tekanan, bahwa menolak lamaran pria saleh hanya akan menimbulkan fitnah. Maka, gadis itu langsung keder nyalinya. Dia tidak kuat mendengar kata fitnah, dan lebih tak sanggup lagi jika dirinya yang menjadi biang fitnah itu.
Kemudian pikirannya pun menjadi kacau, makan tak enak tidur tak nyenyak. Sementara lelaki yang kebelet kawin itu tampaknya abai, kalau apa yang diperbuatnya justru menjadi permulaan dari fitnah yang lebih besar.
Demi menghindari salah paham, salah kaprah, atau salah duga, maka ada baiknya diperjelas dulu apa sih hakikat fitnah itu.
Mahmud Rajab Hamady dalam buku Tanda-Tanda Kiamat menerangkan, pengertian fitnah secara etimologi berarti ujian dan cobaan. Secara terminologi fitnah bermakna bencana, azab, kesusahan dan setiap hal yang tidak disukai seperti kekafiran, dosa, kedurhakaan dan musibah.
Ibnu Jauzi menjelaskan bahwa kata fitnah dalam Al-Qur'an mempunyai sejumlah makna: syirik, pembunuhan, kesesatan, dosa dan siksaan.
Memang tidak ada manusia normal yang sudi dirinya terkena fitnah, karena beratnya akibat yang mesti dipikulnya. Akan tetapi, sekali lagi ditegaskan, mencegah fitnah jauh lebih mudah, lebih bijaksana, dan lebih aman. Adakalanya kita perlu mengambil langkah-langkah tegas sebelum fitnah itu membakar kedamaian hidup.
Perempuan yang hamil itu sejatinya dapat menangkal terjadinya fitnah, seandainya dia mau memberikan informasi yang terang-benderang terkait pernikahan sirinya. Perkara setuju atau tidak dengan nikah siri, itu pilihan masing-masing, setidaknya dengan informasi terbuka maka terhalanglah fitnah yang lebih besar.
Adapun gadis yang dilamar tidak perlu gentar dengan ancaman atau tekanan. Karena, keputusannya secara independen antara menerima atau menolak lamaran justru menyelamatkan dirinya dan masyarakat dari fitnah lebih besar. Bukankah pernikahan yang tidak bahagia, yang berpangkal dari tekanan, akan bermuara pada banyaknya pertikaian yang berujung fitnah?
Siapapun berhak menjalani hidup nan damai, dan di antara langkah pentingnya dengan mencegah munculnya fitnah.
KOMENTAR ANDA