“AWAS, jangan nakal, nanti Tuhan marah lho!”
“Hei, kamu mau Tuhan marah, nanti dibakar dalam neraka!”
Kalimat-kalimat sejenis ini, sengaja atau tidak, barangkali pernah terlontarkan kepada anak. Barangkali tujuannya baik, yakni hendak menanamkan pelajaran tauhid sejak usia dini.
Namun, kalimat-kaimat negatif itu justru membangun persepsi yang keliru bagi anak. Seolah-olah Tuhan itu pemarah, atau sesuatu yang menakutkan. Padahal Allah itu Maha Pengasih Maha Penyayang.
Tauhid adalah pondasi penting dalam akidah Islam. Dari itu patutlah tauhid menjadi perhatian penting dalam pendidikan. Berhubung yang akan diberikan materi tauhid adalah anak-anak, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya:
Pertama, tak terlihat bukan berarti tidak ada.
Allah Swt. memang tidak kasat mata. Dalam konsep ketuhanan Islam memang berbeda dengan kebanyakan agama lain yang berupaya menghadirkan Tuhan mereka dalam rupa berhala atau patung. Kendati tidak kelihatan itu bukan berarti mustahil mengenalkan Allah Swt. kepada anak.
Logikanya ada kok!
Setiap manusia memiliki akal pikiran, meski pun mata tidak dapat melihatnya. Namun, keberadaan akal pikiran itu dapat dipahamkan kepada anak berupa pujian betapa cerdas dirinya, seperti dapat belajar dengan baik, dan sebagainya.
Allah Swt. memang tidak dapat dilihat oleh mata, sesuatu yang tidak terjangkau oleh panca indera, itulah pertanda Dia adalah Tuhan yang sebenarnya. Akan tetapi, keteraturan di alam semesta ini merupakan di antara bukti adanya Allah. Dengan kata lain, mengenali Allah dari kekuasaan-Nya yang terhampar di alam.
Kedua, menyadari kehadiran Allah Swt.
Sambungan dari penjelasan sebelumnya, Allah Swt. memang tidak terlihat, tetapi keberadaannya tentu dapat dirasakan, tak terkecuali oleh anak kecil sekalipun. Toh anak juga memiliki akal yang mampu menangkap berbagai rahasia semesta, juga tentunya mampu memahami hakikat tauhid.
Nabi Ibrahim adalah teladan menakjubkan dalam pendidikan tauhid. Apalagi dia mengalami pengalaman rohani atau menempuh pengembaraan batin menemukan Tuhan sejati justru saat dirinya masih teramat belia.
Demi menyelamatkan anaknya dari kekejaman atau pembunuhan oleh raja biadab, ibu Nabi Ibrahim pun mengasingkan dirinya ke sebuah gua terpencil. Di sanalah Nabi Ibrahim dilahirkan, diasuh dan melalui masa kanak-kanak.
Uniknya, di tempat terasing itu pula, dalam kesendiriannya, dengan kejernihan fitrahnya, Nabi Ibrahim yang masih kecil mampu menemukan Tuhannya melalui pengembaraan batin. Sebagaimana tertera pada surat Al-An'am ayat 76-78, yang artinya:
76. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”
77. Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”
78. Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.”
Semula, Nabi Ibrahim kecil menyangka bintang, bulan dan matahari adalah Tuhan. Namun, akal sehatnya memahami benda-benda itu bukanlah Tuhan sejati karena tidak terus berjaya, mereka juga mengalami masa-masa tenggelam.
Sehingga Nabi Ibrahim kecil sampai pada pemahaman adanya suatu kekuatan besar yang paling menguasai alam semesta, yang menguasai bintang, bulan dan matahari itu, yaitu Allah Swt.
Bey Arifin dalam bukunya Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an menerangkan, akhirnya setelah ia agak besar, akalnya yang murni, fitrahnya yang suci, yang tak dikotori dan dipengaruhi oleh siapa dan apa pun, tidak pernah dipengaruhi oleh berbagai kepercayaan palsu yang dipercayai oleh orang banyak, dengan semata-mata atas kekuatan akal dan pikiran sendiri yang diberikan Allah kepadanya, ia dapat meyakinkan adanya Tuhan yang menciptakan seluruh alam yang ada.
Kisah manis Nabi Ibrahim muda ini dapat diterapkan kepada anak-anak kita, keberadaan dan keteraturan yang berlangsung di alam ini merupakan bukti adanya Allah Swt. Manusia tidak mungkin mengatur peredaran bintang, bulan atau matahari, kecuali Allah Swt. semata yang dapat melakukannya.
Ketiga, mengembalikan segalanya kepada Allah Swt.
Apabila semuanya dikembalikan kepada Allah, maka mudah bagi anak meresapi hakikat adanya Tuhan yang sejati.
Semisal anak lagi mendapat masalah, contohnya lagi sakit, maka orangtua mengajaknya berdoa memohon kesembuhan kepada Allah. Kemudian, ketika telah sembuh, jangan lupa mengajak anak untuk bersyukur pada Allah.
Contohnya, anak lagi tegang mengikuti ujian atau perlombaan, ketika itu ajaklah anak untuk berdoa mohon ketenangan kepada Ilahi. Berikutnya, menang atau kalah, anak tetap mampu mensyukuri anugerah ketenangan batin dari Tuhannya.
KOMENTAR ANDA