PANDEMI Covid-19 disebut-sebut berpengaruh positif terhadap lingkungan hidup dalam hal berkurangnya polusi udara hingga membuat langit tampak lebih jernih. Sejumlah peneliti dunia juga menyebutkan bahwa angka emisi karbon turun 7% selama pandemi.
Emisi karbon merupakan gas hasil pembakaran senyawa mengandung karbon seperti CO2, gas buangan dari pembakaran bensin, solar, gas elpiji, kayu, daun, serta bahan-bahan lain yang mengandung hidrokarbon.
Emisi karbon yang berdampak pada perubahan iklim akan menyebabkan banjir besar, kelaparan, dan ketidakstabilan ekonomi.
Di sisi lain, meningkatnya jumlah sampah plastik selama pandemi juga menjadi permasalahan baru. Mulai dari masker medis hingga wadah berbahan plastik untuk pesan antar makanan dan pengiriman barang pada akhirnya menjadi penyumbang emisi karbon.
Nyatanya, penurunan angka itu masih belum mampu memperlambat laju perubahan iklim (climate change).
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyatakan turunnya perekonomian akibat pandemi Covid-19 hanya menyebabkan penurunanan sementara angka emisi karbon. Hal itu belum mampu menurunkan efek gas rumah kaca pada atmosfer bumi.
WMO dalam laporan United in Science tahun 2021 menjelaskan bahwa ada kemungkinan target Perjanjian Paris untuk mengurangi suhu bumi hingga 1,5 derajat Celcius tidak bisa dicapai.
Suhu rata-rata bumi dalam lima tahun terakhir diperkirakan naik hingga 1,26 Celcius di atas tingkat pra-industri. Hal yang ingin dicegah adalah jangan sampai lima tahun ke depan angka itu menjadi 1,5 derajat Celcius.
Dikutip dari Reuters, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa tahun 2021 adalah tahun kritis untuk berbuat sesuatu demi bumi.
Perdebatan Negara Maju vs Negara Berkembang
Salah satu poin Perjanjian Iklim Paris 2015 adalah tentang kerugian dan kerusakan. Hal itu memicu pertanyaan tentang kewajiban ganti rugi dan bagaimana rincian teknis ganti rugi yang diakibatkan perubahan iklim.
Mengutip Bloomberg (23/10/21), India menuntut kompensasi atas kerugian negaranya yang diakibatkan perubahan iklim. Tuntutan itu menjadi salah satu isu yang akan dibawa India ke KTT Iklim COP26 PBB bulan depan di Glasgow, Skotlandia.
Kementerian Lingkungan India meminta ganti rugi dari negara-negara maju sekaligus berdiri bersama negara berpenghasilan rendah dan negara berkembang lain. Negara-negara kaya merupakan penyumbang utama mayoritas gas rumah kaca yang menyebabkan bumi kian panas di atas tingkat pra-industri.
Sementara itu, Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu negara pertama penerima skema bantuan internasional untuk percepatan penutupan pembangkit listrik berbasis batu bara, seperti dilaporkan BBC. Rencana skema bantuan tersebut diharapkan akan dibahas pada KTT Iklim COP26 mendatang.
Kepercayaan itu diberikan kepada Indonesia yang selama ini dinilai positif dalam membangun sumber energi terbarukan. Indonesia juga telah berjanji akan mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap hingga 60% sampai tahun 2050.
Amerika Serikat mengingatkan bahwa isu perubahan iklim akan meningkatkan ketegangan di antara negara-negara di dunia terkait cara mereka merespons pengurangan emisi karbon. Menurut AS, dampaknya paling dirasakan negara-negara miskin yang masih sangat sulit mewujudkan energi bersih.
Panel Antar-Pemerintah mengenai Perubahan Iklim (IPCC) PBB menegaskan laporan perubahan iklim yang mereka buat semata berdasarkan sains (keilmuan). Laporan itu harus menjadi patokan agar tidak ada adu kepentingan dalam merespons perubahan iklim.
KOMENTAR ANDA