Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SURAT Edaran Penanganan Covid-19 Nomor 21 Tahun 2021 tentang Ketentuan Perjalanan Orang dalam Negeri pada Masa Pandemi Covid-19 tertulis bahwa penumpang pesawat yang berada di wilayah PPKM Level 3 – 4 wajib menunjukkan hasil negatif dari tes PCR dalam jangka waktu maksimal 2x24 jam sebelum terbang.

Mengapa naik commuter line (KRL) atau bus antarkota tidak diwajibkan tes PCR sementara naik pesawat harus membawa hasil tes PCR? Padahal jika bicara risiko, naik KRL juga bus juga terbilang tinggi potensi penularan Covid-19. Pertanyaan itu tak hanya banyak disampaikan warga tapi juga mendapat perhatian dari sejumlah pihak.

Mengutip berbagai sumber, pertanyaan tersebut juga diungkapkan Netty Prasetiyani, anggota Komisi IX DPR RI. Menurutnya, jika prinsip yang dipakai adalah kehati-hatian, maka seharusnya tes PCR diberlakukan menyeluruh untuk semua penumpang transportasi darat, laut, dan udara. Karena menurutnya, risiko di moda transportasi selain pesawat tebang justru lebih tinggi (lebih berdesakan).

Ketua DPR RI Puan Maharani juga merasa heran dengan kebijakan tersebut. Saat kurva pandemi belum melandai, tes antigen diperbolehkan sebagai syarat penerbangan. Jika saat ini harus tes PCR dengan alasan kehati-hatian, apakah dulu berarti negara ini tidak berhati-hati? Puan meminta pemerintah bisa menjawab rasa penasaran masyarakat.

Adapun epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman mempertanyakan urgensi dari tes PCR sebagai syarat terbang. Menurutnya, meskipun tes PCR menjadi standar terbaik untuk deteksi Covid-19, menjadi kontraproduktif bila diaplikasikan di tempat yang minim risiko.

Dicky menyatakan bahwa moda transportasi udara terbilang aman. Ia mencontohkan salah satu pesawat yang terbang dari Wuhan (Cina) ke Kanada, tidak terjadi penularan meskipun saat itu ada dua orang yang positif terpapar Covid-19.

Sementara itu Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menerangkan bahwa ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR untuk naik pesawat banyak dimainkan para penyedia tes. Ia mencontohkan ada tes PCR ekspres yang dibanderol dengan harga tiga kali lipat dari biasanya untuk bisa mendapat hasil lebih cepat.

Tuntutan penghapusan tes PCR sebagai syarat penerbangan kemudian dibawa dalam bentuk petisi “Hapuskan Aturan PCR Untuk Penerbangan” di change.org oleh warga Bali bernama Herlia Adisasmita pada 21 Oktober. Jumlah penanda tangan petisi ini pada Selasa (26/10/21) tercatat mencapai 40.935 orang.

Sementara itu menurut Prof. Zubairi Djoerban selaku Ketua Satgas Penanganan Covid-19 IDI menegaskan bahwa tes PCR masih menjadi standar terbaik untuk mematikan keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam memeriksa Covid-19. Namun demikian, Prof Zubairi juga meminta pemerintah untuk bisa terun menekan harga PCR, seperti yang pendapat yang diunggahnya melalui Twitter, Selasa (26/10/21).

Harga tes PCR jadi Rp300 ribu sepertinya masih berat bagi sebagian besar kalangan. Apalagi jika diterapkan di seluruh moda transportasi. Bayangkan kalau sekeluarga 4-5 orang. Kekuatan pasar harus mendorong harga PCR terus turun--didukung pemerintah yang juga menerapkan subsidi.

Tweet Prof. Zubairi tersebut mengomentari instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta harga tes PCR turun menjadi 300 ribu rupiah. Hal itu disampaikan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Senin (25/10/21).

Merespons instruksi tersebut, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi menjelaskan Kemenkes tengah melakukan kajian terkait batas harga tes PCR.

Jika memang dianggap penting demi kehati-hatian menghindari kemungkinan gelombang ketiga Covid-19, mengapa tes PCR tidak digratiskan saja?

Untuk tahu jawabannya, mungkin kita bisa membaca cuplikan tulisan Pak Jaya Suprana berjudul Menggratiskan PCR Pasti Mampu Jika Mau yang dimuat Farah.id (26/10/21)

Namun perlu disimak kenyataan tak terbantahkan pula bahwa tes PCR terbukti bisa gratis di Australia, Selandia Baru, Jerman untuk warga negeri masing-masing. Kenapa bisa begitu? Jawabannya sederhana yaitu karena biaya penyelenggaraan tes PCR diambil-alih sepenuhnya oleh pemerintah.

Sekalipun pemerintah berdalih negara ini tak sekaya negara-negara maju itu, seperti kata Pak Jaya: Jika mau, pasti mampu.

 

 




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News