KOMENTAR

KISAH pertama:

Keindahan suaranya benar-benar dahsyat tatkala mengalunkan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Orang-orang di masjid pun terpukau, terkesima dan terpesona. Gadis itu bukan hanya cantik, tetapi juga dianugerahi suara yang ajaib.

 “Aku menyesal,” ungkapnya setelah acara bubar.

 “Kenapa?” tanya temannya.

 “Karena suara perempuan itu aurat.”
 

Temannya itu ikut ketakutan. Masalahnya, apabila suara qariah itu adalah aurat, maka dirinya telah terkena dosa. Dia kan lelaki.

Kisah kedua:

Pada seminar mukjizat Al-Qur’an di Kuala Lumpur beberapa tahun silam, Sharifah Khasif tampil memukau. Salah satu qariah terbaik internasional asal negeri jiran ini makin menakjubkan tatkala menyenandungkan lagu-lagu religi.

Kejutan itu berlanjut dalam sesi dialog interaktif, ketika salah satu hadirin mempertanyakan tentang suara perempuan itu aurat. Pertanyaan yang menyudutkan posisi dirinya yang tampil di acara internasional tersebut.

Namun, Sharifah punya pendapat, kalau untuk mengaji atau untuk hal-hal bermanfaat tidaklah suara perempuan itu tergolong aurat. Menurutnya, suara perempuan itu terlarang kalau digunakan untuk merayu-rayu, atau dengan nada mendesah-desah. Karena perbedaan pendapat amatlah dihargai, maka acara itu tidak berujung dengan debat kusir.

Kisah-kisah di atas dapat saja bermuara pada berbagai tanda tanya, dan kali ini lagi-lagi perkara perempuan. Bukan hanya seluk-beluk tubuhnya yang dipertanyakan atau bahkan diperdebatkan, tetapi suaranya juga dapat menghadirkan sengketa.

Lalu, apakah suara perempuan itu aurat?

Untuk menjawab pertanyaan yang cukup sensitif ini, ulama kontempoter asal Mesir Yusuf Al-Qaradhawi mengajak kita menganalisanya dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer 2, begini kutipannya:

Betapa banyaknya peristiwa dan kejadian yang tidak terhitung jumlahnya, yang terjadi pada zaman Nabi dan Sahabat, yang menunjukkan bahwa kaum wanita biasa berbicara dengan laki-laki, bersoal jawab, berdialog, mengucapkan dan menjawab salam, serta bercakap-cakap. Tetapi tidak seorang pun yang berkata kepada si wanita, “Diamlah, karena sesungguhnya suaramu adalah aurat.”

Begitu banyaknya fakta perihal suara-suara perempuan yang berperan dalam sejarah Islam semenjak masanya Rasulullah, hendaknya menjadi pemantik bagi nalar kita mencerna bagaimana kedudukan suara perempuan itu.

Dalam nada yang lebih tegas juga diutarakan oleh Muḥammad Shuwaykī dalam bukunya Masalah-Masalah Khilafiyah di Antara Gerakan Islam, bahwa berkaitan dengan suara wanita, maka suara wanita bukanlah aurat.

Shuwaykī beralasan, sebab jika tidak, bagaimana mungkin Rasulullah mau mendengar dua hamba sahaya wanita yang sedang bernyanyi ketika Abu Bakar masuk kepada keduanya.

Semuanya menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Ditambah lagi, syara’ sesungguhnya telah memberikan hak kepada wanita untuk melakukan aktivitas jual beli, berdagang, membaca Al-Qur'an, memberikan ceramah, membaca syair, atau pun yang lainnya. Jika suara wanita adalah aurat maka pasti semua aktivitas itu dilarang bagi wanita. 

Akan tetapi bagi sidang pembaca yang meyakini suara wanita bukanlah aurat, maka ketahuilah bahwa pembahasan ini belumlah tuntas.

Ada baiknya dicermati dan direnung-renungkan dulu surat Al-Ahzab ayat 32, yang artinya, “Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemah lembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

Ayat ini terang-terangan membahas tentang suara perempuan yang terlarang, yakni yang dilembut-lembutkan, dilunak-lunakkan, atau dimanja-manjakan. Suara-suara macam inilah yang mengundang aksi-aksi liar dari setan, hingga menggelorakan segala energi negatif dari orang-orang yang hatinya lagi sakit, yang berpotensi mendatangkan marabahaya.

Sayyid Quthb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an menerangkan, Allah melarang mereka ketika berbicara dengan lelaki asing dengan sifat-sifat kewanitaan mereka. Yaitu, kelembutan dan ketundukan yang membangkitgelorakan libidonya. Sehingga, orang-orang yang berpenyakit hatinya pun berkeinginan dan bernafsu kepada mereka.

Masih dari ayat di atas dapat disimpulkan, jikalau ingin menjadi perempuan salehah seperti istri Rasulullah, di antara jurus ampuhnya adalah mengeluarkan perkataan yang baik. Maksudnya, selain konten ucapan itu mestilah baik, ternyata juga diperlukan penggunaan suara yang baik, yang bukan tergolong suara larangan bagi perempuan.

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur