DI USIA senja itu mau apa lagi yang diharapkan dari pernikahan. Maaf, bukankah untuk urusan ranjang tidak lagi begitu berselera, atau mungkin tidak lagi bertenaga. Mau dibilang puber ke berapa lagi, kalau yang diharapkan kisah kasmaran bak Romeo Juliet. Demikianlah kira-kira pernyataan atau pertanyaan yang berkelebat di benak banyak orang.
Namun, terlepas dari itu semua, tidak dapat dipungkiri betapa cukup banyak peminat menjadi pengantin di usia senja. Entah itu sebagai pernikahan pertama kalinya, atau pun menyambung pernikahan sebelumnya yang berpisah; entah itu karena perpisahan di pengadilan atau perpisahan yang disebabkan kematian.
Kisah satu:
Ibu profesor yang merupakan pakar psikologi ini masih saja melajang di usia kepala lima. Padahal dirinya perempuan menarik, murah senyum dan supel dalam bergaul.
Banyak yang menduga dirinya terlalu hebat, jadi para lelaki sudah tidak percaya diri duluan mendekatinya. Ada lagi yang menduga kalau ibu ini pernah patah hati. Lelaki pujaan hatinya dinikahkan dengan paksa oleh orangtuanya. Sehingga hati profesor ini pun tertutup dari lelaki lain.
Entahlah, tidak ada yang tahu pasti hati orang lain. Dan orang-orang pun agak sungkan bertanya kepada profesor itu, sekali pun dirinya pribadi yang hangat dan ramah.
Akhirnya ibu profesor itu menikah dengan seorang pengacara yang baru saja menduda setelah kematian istrinya. Lelaki itu pula yang selama ini disebut-sebut sebagai pujaan hati ibu profesor.
Di hari bahagianya, profesor itu berkenan buka suara terkait pernikahannya. Katanya, anak muda menikah atas dorongan romantika gelora asmara, orang-orang tua menikah untuk mendapatkan teman hidupnya.
Kisah kedua:
Ada saja orang yang memandang sinis, bahkan mencap lelaki beruban itu keterlaluan. “Kubur istrinya masih merah tanah, dia sudah kawin lagi. Apa tidak malu sama umur?”
Tidak lama setelah kematian istrinya, memang pria itu pun menikah lagi dengan janda yang tetap cantik di usianya yang merambat senja. Lelaki itu menangkis cibiran orang, “Pernikahan saya ini memenuhi wasiat almarhumah istri.”
Menjelang ajalnya, sang istri berwasiat, “Menikahlah lagi, jangan hidup sendiri!”
Semula lelaki itu menolak, toh dirinya teramat cinta sama istrinya. Mati bersama pun dirinya mau. Lagi pula dia lelaki yang mandiri, pandai mengurus diri sendiri. Apanya yang kurang?
Sebelum nyawa meninggalkan jasad, istrinya yang mengidap kanker itu masih sempat meyakinkan. Kesendirian itu berbahaya bagi kehidupan, sementara agama telah menyediakan kebersamaan yang berlimpah pahala dalam lembaga pernikahan.
Singkat cerita, lelaki beruban itu tetap saja menikah dengan janda cantik. Uniknya, dalam percakapan pra nikah dua insan ini sepakat, sekiranya nanti meninggal dunia minta dimakamkan di samping suami atau istri sebelumnya.
Nah!
Tentunya dua kisah di atas hanyalah contoh dari sekian banyak pernikahan di usia senja. Kalau mau yang lebih menggetarkan hati, berkunjunglah ke beberapa panti jompo. Di antara mereka yang kesepian itu, juga ada kakek nenek yang berjalan saja sudah gemetaran tapi akhirnya memutuskan untuk menikah. Karena ada ruang kosong di relung hati mereka yang membutuhkannya.
Fenomena menikah tua ini menarik untuk dikaji dari dimensi psikologis. Dan akan lebih menggugah jika kita melihat lagi dari perspektif agama.
Landasan pernikahan bagi pasangan muslim adalah surat Ar-Rum ayat 21, yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Terkait ayat ini, menarik sekali penekanan dari Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, agar tenteramlah kamu kepadanya, artinya akan gelisahlah hidup kalau hanya seorang diri karena kesepian, terpencil tidak berteman.
Kesendiran yang mencekam itu amatlah mengguncang hati. Dari itulah lembaga pernikahan menjadi solusi agar hidup ini tetap dilalui dengan kehangatan. Lagi pula tidak ada toh larangan menikah di usia senja?
Nabi Muhammad banyak sekali menikahi janda-janda tua, maaf, untuk tidak menyebut mereka nenek-nenek. Dan ketika itu pula ternyata Nabi Muhammad pun sudah tua pula.
Mari kita ambil contoh dari Ibnu Hazm Al-Andalusi dalam bukunya Intisari Sirah Nabawiyah menyebutkan, Saudah binti Zam’ah dinikahi pada umur 65 tahun, dan umur Nabi Muhammad 50 tahun pernikahannya 3 tahun sebelum hijrah.
Nabi Muhammad tidak membiarkan umatnya hidup dalam kesendirian, kesepian, apalagi kehampaan. Dari itulah pernikahan masa tua pun berlangsung, dan tentunya dengan harapan meraih sakinah.
Dengan demikian, pasangan tua pun berhak mendapatkan sakinah sekali pun menikahnya di usia senja. Tidak ada larangan untuk menikah, selama menaati aturan agama. Bahkan, dengan pernikahan itu kesempatan meraup pahala juga terbuka lebar.
Ada baiknya kita mencermati dan merenungkan beberapa kejadian pernikahan di usia tua. Tujuannya bukan mencampuri urusan orang lain, melainkan untuk melihat kepada diri sendiri, tentang hakikat pernikahan dan meraup saripatinya.
KOMENTAR ANDA