Hendaklah kita cerdas untuk melihat mana yang lebih besar manfaat dan maslahatnya. Itulah yang terbaik pahalanya di sisi Allah/ Net
Hendaklah kita cerdas untuk melihat mana yang lebih besar manfaat dan maslahatnya. Itulah yang terbaik pahalanya di sisi Allah/ Net
KOMENTAR

MUNGKINKAH kita hidup tanpa memilih? Rasanya hanya beberapa tahun saja setelah kita terlahir ke dunia, kita membiarkan orang lain (baca: orangtua) memilihkan segalanya untuk kita. Selebihnya, sekali pun kita masih berusia kanak-kanak, kita kerap menolak apa-apa yang dipilihkan orangtua untuk kita.

Maka menjalani kehidupan tanpa menentukan pilihan adalah hal mustahil. Bahkan sesaat setelah bangun dari tidur di pagi hari, kita sudah dihadapkan pada dua pilihan: meneruskan tidur atau mulai beraktifitas. Atau ketika kita dihadapkan pada beragam tanggung jawab, mengambil keputusan sering kali menjadi sesuatu yang amat sulit.

Ketika kita dihadapkan pada dua perkara yang sama-sama penting, mana yang harus dipilih?

"Sebuah kaidah ushul fiqh menyatakan jika bertemu dua maslahat, pilihlah maslahat yang lebih besar. Dahulukan yang wajib daripada yang sunnah. Jika keduanya wajib, dahulukan yang hukumya fardhu 'ain (wajib dilakukan oleh setiap orang) dibandingkan yang fardhu kifayah (wajib dilakukan oleh salah satu di antara Muslim). Dan jika keduanya adalah fardhu 'ain, maka pilihlah yang paling banyak manfaatnya," jelas Ustaz Abu Yahya Badru Salam, Lc. dalam sebuah kajian di Yufid Tv.

Kaidah Islam tersebut seharusnya menjadi panduan saat kita dihadapkan pada dua hal penting yang mengharuskan kita untuk memilih. Ketika kita tidak mengabaikan kaidah tersebut, yang terjadi adalah kita akan jatuh dalam jerat setan.

Kita mendahulukan hal yang tidak utama dan meninggalkan yang utama. Tak jarang kita bahkan memilih sesuatu yang menyenangkan hati tanpa menilik lebih dalam manfaatnya.

Mari mengambil hikmah dari empat contoh berikut ini.

Pertama, ketika Imam Ahmad bin Hanbal ditanya mana yang lebih disukainya antara shalat malam atau menulis ilmu. Ia menjawab bahwa pahala mendirikan shalat malam semata untuk dirinya sendiri.

Sedangkan jika ia menulis ilmu, maka manfaatnya dapat dirasakan olehnya juga banyak manusia lainnya. Orang dengan kefaqihan (pemahaman) seperti Imam Ahmad memilih hal yang memiliki manfaat dan maslahat lebih besar. Dan kita tahu, menuntut ilmu wajib hukumnya.

Kedua, Abdullah bin Mas'ud dikenal sedikit melaksanakan puasa sunnah. Alasan sahabat Nabi Muhammad ini, puasa membuatnya lemah saat melaksanakan shalat. Ia lebih memillih shalat karena shalat lebih utama dari puasa (sunnah).

Sama halnya ketika kita memaksakan diri untuk menjalankan puasa sunnah hingga membuat kita tidak dapat melaksanakan kewajiban (pekerjaan) yang diamanahkan kantor kepada kita. Padahal pekerjaan tersebut adalah sesuatu yang harus kita tunaikan.

Ketiga, seorang ibu rumah tangga yang berkeinginan membaca zikir pagi dan zikir petang setiap hari namun di saat yang sama, ia memiliki kewajiban untuk melayani suami dan mengurus keperluan anak-anaknya. Jika ia mengutamakan zikir pagi dan petang, maka ia tertipu.

Hendaklah kita cerdas untuk melihat mana yang lebih besar manfaat dan maslahatnya. Itulah yang terbaik pahalanya di sisi Allah.

Keempat, manakala kita bersemangat menuntut ilmu, kita bingung memilih di antara beberapa kajian dalam waktu yang berbarengan. Kita sebaiknya memilih tema yang paling urgen dan paling kita butuhkan.

Ustaz Badru Salam menjelaskan, jangan sampai kita memilih pelajaran Bahasa Arab lalu mengabaikan kajian tentang Tauhid—yang jelas-jelas menjadi ruh dari keimanan dan keislaman kita.

Wallahu a'lam bishshawab.

 

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur