KEINGINAN manusia terkadang bisa menjadi sangat sederhana. Sesederhana pertanyaan yang kini memenuhi benak umat manusia di seluruh dunia: kapankah kita bisa berhenti memakai masker?
Kita saat ini memang sudah diperbolehkan bertemu dan berkumpul, tapi tetap harus menjalankan protokol kesehatan yang nomor satunya adalah "memakai masker". Tapi, masker membuat aktivitas face to face menjadi hambar karena ia menghalangi wajah kita.
Namun karena pandemi belum berakhir dan vaksinasi belum merata di seluruh dunia, kita tentu lebih memilih memakai masker untuk kenyamanan dan keamanan bersama. Ya, mengenakan masker menjadi pilihan cerdas sebagai upaya meminimalkan penyebaran Covid-19.
Berkaca dari Amerika Serikat
Namun sepotong kain yang dua tahun silam tak banyak dilirik orang ini justru menjadi 'biang keributan' di Amerika Serikat, seperti diberitakan The New Tork Times. Negara adidaya itu dilanda berbagai gejolak selama pandemi, mulai dari angka kasus yang sangat tinggi, PHK massal, kampanye hitam selama perjalanan kampanye presiden, hingga serangan ke US Capitol. Semuanya berawal dari masker. Lambatnya penetapan aturan wajib masker dituding menjadi sumber malapetaka virus corona di AS.
Dan ketika akhirnya masker menjadi simbol perlawanan terhadap pandemi, terlihat bahwa hidup sama sekali tidak berjalan 'normal' seperti sebelumnya. Terlebih ketika gelombang varian Delta di musim panas melanda lalu vaksinasi anak usia sekolah mulai dijalankan, banyak warga Amerika Serikat mempertanyakan kapankah bisa melepas masker.
Dr. Stephen Luby, pakar penyakit menular dan epidemiolog Universitas Stanford menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan mendukung penggunaan masker sebagai strategi jitu mengurangi Covid-19. "Namun masalahnya, berapa lama kita mesti melakukannya dan apakah kita harus memakainya seumur hidup?"
Beberapa pejabat publik AS mulai memetakan 'permainan akhir' pandemi. Wali Kota Washington D.C. Muriel Bowser sudah mengumumkan bahwa kebijakan masker akan dilonggarkan. Diikuti parlemen Florida yang meloloskan UU yang melarang mandat penggunaan masker di sekolah.
Juga janji Wali Kota New York terpilih, Eric Adams, yang menyatakan siap mencabut mandat masker di sekolah saat pejabat kesehatan menyatakan kondisi aman terkendali. Namun para ahli menegaskan bahwa saat itu belum tiba.
Meskipun merasa lelah dengan serbuan Covid-19 dan berbagai varian coronanya juga berbagai pembatasan selama pandemi, nyatanya virus ini masih belum juga beranjak menjauh. "Kasus meningkat lagi dan kita belum bisa menaklukkan virus ini," ujar Epidemiolog University of California Anne Rimoin.
CDC juga masih keukeuh dengan rekomendasinya: orang yang sudah mendapat vaksin dosis lengkap sekalipun harus memakai masker di ruang publik indoor yang menjadi lokasi berisiko tinggi penularan virus.
Diketahui, menjelang akhir November ini, setidaknya ada 50 kasus baru setiap minggu per 100.000 penduduk di 85% negara bagian AS. Karena itulah para ilmuwan menyarankan pengurangan persyaratan masker tersebut lebih aman diberlakukan tahun depan. Setidaknya setelah libur akhir tahun selesai dan lebih banyak anak divaksinasi penuh. Terlebih lagi di saat musim dingin dan serbuan flu, penggunaan masker akan sangat membantu.
Tampaknya, kita memang tidak bisa benar-benar menyingkirkan masker dari keseharian kita.
Bagaimana masker menjadi krusial?
Beberapa bukti ilmiah mendukung efektivitas masker wajah sebagai intervensi kesehatan masyarakat. Studi laboratorium menunjukkan bahwa masker kain sekalipun dapat memblokir lebih dari 50% aerosol kecil, sementara masker bedah dan respirator N95 jauh lebih baik.
Penelitian juga membuktikan bahwa mandat penggunaan masker di sekolah berhasil mengurangi risiko penularan. Dr. Stephen dan koleganya melakukan uji coba acak di 600 desa di Bangladesh, hasilnya menunjukkan bahwa intervensi masker—termasuk distribusi masker gratis menyumbang penurunan angka kasus Covid-19.
Meskipun studi tersebut belum dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, banyaknya penelitian serupa menghasilkan kesimpulan yang jelas membuktikan ampuhnya masker memperlambat penularan.
Rakyat Amerika, seperti halnya masyarakat di negara-negara lain, sudah sedemikian 'gerah' dengan masker. Kain penutup bagian hidung hingga dagu itu menyulitkan beberapa aktivitas manusia. Salah satu yang sangat terasa adalah terhambatnya komunikasi.
Ketidaknyamanan juga menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang membenci masker. Sejumlah penyandang disabilitas mungkin tidak bisa memakai masker.
Selain itu, penggunaan masker pada anak kecil masih menimbulkan pro kontra mengingat mereka tergolong kelompok yang tidak rentan terpapar penyakit parah. CDC mengatakan anak di bawah usia 2 tahun tidak boleh memakai masker sedangkan WHO tidak merekomendasikan anak di bawah usia 6 tahun untuk memakai masker.
Namun kembali lagi, memakai masker jauh lebih 'menyenangkan' dibandingkan dengan tindakan mitigasi lain seperti lockdown (PSBB). Masker menjadi alat utama dalam mengelola pandemi, demikian ditegaskan para ahli kesehatan.
Terlebih lagi, menurut Richard Stutt dari University of Cambridge, masker adalah upaya dengan biaya paling kecil dibandingkan dengan kebanyakan intervensi lain. "Saya pikir, memakai masker adalah satu intervensi pandemi yang akhirnya akan kita pilih di antara sekian banyak intervensi."
Bagaimana dengan di Indonesia?
Kita ketahui bahwa kesadaran masyarakat tentang mengenakan masker ternyata masih terbilang rendah. Terlebih di saat ini, ketika pemerintah mengumumkan kurva Covid-19 yang mulai melandai, banyak anggota masyarakat yang merasa sudah terbebas dari virus corona.
KOMENTAR ANDA