PANDEMI telah memporak-porandakan kehidupan umat manusia, tidak terkecuali para guru yang benar-benar menemukan ujian teramat berat dalam menjalankan tugas-tugasnya. Berikut ini di antara contoh curhatan hati guru-guru:
a. Sejak pandemi beban kerja guru berkali-kali lipat; mulai dari menyiapkan bahan ajar daring, hingga mengingatkan dan membimbing murid satu per satu.
b. Sementara guru pun tetap masuk kelas, karena murid-murid juga bergantian belajar tatap muka. Sehingga beban kerja guru-guru melampaui masa normal terdahulu.
c. Kegelisahan guru disebabkan murid-murid yang belajar online pada malas mengerjakan tugas, bahkan mereka mengabaikan chat dari guru, betapa menyesakkan hati.
d. Sulitnya kosentrasi mengajar daring dari rumah sendiri, sebab anak-anak yang makin rewel minta perhatian.
e. Dilema yang merisaukan hati mengingat di antara murid-muridnya juga ada yang kesulitan dalam belajar online, entah itu terkendala pulsa atau tidak punya ponsel.
f. Bagi para guru honorer ujian makin berat, ketika beban kerja bertambah-tambah, gaji yang mereka terima malah berkurang atau malah belum dibayarkan berbulan-bulan.
Marilah kita sama-sama berempati dengan para guru, yang hampir dua tahun pandemi mesti banyak-banyak memasang sabar. Kata orang sabar ada batasnya. Namun, kalau sabar guru ada batasnya, entah bagaimana nasib pendidikan.
Memang tidak akan pernah menjadi guru, karena yang dibentuk adalah karakter anak bangsa. Berbagai kendala dan dilema akan dihadapi, yang tentunya bermodalkan kesabaran.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah pada buku Madarijus Salikin menerangkan, maka sabar merupakan jalan cinta yang paling terjal. Karena di dalam sabar terdapat kekuatan pengakuan. Orang sabar mengaku memiliki keteguhan hati yang kuat.
Dengan jatuh bangunnya para guru melalui masa pandemi telah membentangkan kenyataan betapa terjal jalan cinta yang mereka tempuh. Namun, keteguhan hati para guru itu pula yang akan menentukan berjaya atau tidaknya suatu bangsa.
Ketika mengalami kekalahan berikut juga kehancuran parah di Perang Dunia II, Kaisar Jepang, Hirohito mengumpulkan para pejabat yang tersisa. Dia tidak menanyakan berapa jenderal yang masih tersisa, karena menurutnya bukan itu yang terpenting. Jepang harus segera bangkit, menyongsong kegemilangannya segera, tapi bukan dengan militer.
Kemudian melegenda pertanyaan Kaisar Jepang tentang berapa orang guru yang masih hidup. Suatu pertanyaan yang sekilas ganjil, akan tetapi mampu merubah nasib bangsa Jepang secara dramatis.
Prof. Dr. Amos Neolaka dalam buku Isu-isu Kritis Pendidikan menceritakan, setelah itu Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jenderal yang masih hidup dan bertanya kepada mereka,
“Berapa jumlah guru yang tersisa?”
Para jenderal bingung dan menegaskan mereka masih bisa melindungi Kaisar meski tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito berkata, “Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Maka kumpulkan guru yang masih hidup, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu.”
Guru bisa mencetak jenderal, ilmuan, politikus, teknokrat dan banyak lainnya. Maka, ucapan kaisar itu terbukti dengan cepat, ketika Jepang kembali menguasai dunia dengan kemajuan negaranya.
Gampang sekali kita membuktikannya! Jika dahulu serdadu Jepang bersenjata bayonet lalu lalang di jalanan Indonesia, kini bagaimana? Kita menyaksikan jalanan tanah air dikuasai oleh produk-produk bermotor asal Jepang.
Perang pandemi saat ini tak kalah menyeramkan, hingga tulisan ini dibuat, lebih dari 144 ribu orang meninggal dunia. Perang apa yang dapat menandingi korban sebanyak itu?
Kini, marilah kita rajin bertanya berapa guru yang masih ada, agar dapat mendorong kembali kehidupan bangsa menuju ufuk yang lebih cerah.
Sesabar-sabarnya guru, tetap saja mereka manusia biasa. Kini kita menitipkan harapan besar di pundak para guru untuk terus berjuang. Semoga segalanya kembali lagi normal, pandemi lekas berlalu dan para guru kembali menikmati hari-harinya dalam mengajar.
KOMENTAR ANDA