AGAK membingungkan kalau hingga saat ini masih saja ada orang berpandangan Islam telah mengekang perempuan, yang memukul mundur kaum hawa ke wilayah domestik, yang membuat kiprah mereka terjerat urusan domestik belaka.
Nyatanya, sejarah tidaklah mencatat demikian, karena justru para muslimah memainkan peran penting dalam sejarah peradaban. Di antara peran yang menakjubkan itu adalah menjadi guru. Di mana peradaban berkembang pesat, pertanda di sana pula peran guru berjalan optimal.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, istrinya yang bernama Aisyah telah berperan sebagai guru bagi umat. Kita dapat mengira kaum perempuan lah yang banyak mendatangi Aisyah, khususnya belajar tentang hal-hal kewanitaan dalam perspektif Islam, semisal hukum taharah, haid, nifas, dan lain-lain.
Ternyata tidak sesempit itu kiprah Aisyah, karena para lelaki juga berguru kepadanya. Ketika di masa jahiliyah itu perempuan inferior di bawah dominasi lelaki, maka istri Rasulullah malah menjadi guru untuk kaum pria.
Di antara murid-murid Aisyah itu bukan kaleng-kaleng juga. Sulaiman an-Nadawi dalam bukunya berjudul Aisyah menyebutkan, para sahabat yang meriwayatkan hadis dari Aisyah di antaranya adalah: Abu Musa al-Asy'ari, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Amr bin al-Ash, Zaid bin Khalid al-Juhani, Rabi’ah bin Amr al-Jurasyi, Al-Harits bin Abdullah, dan sebagainya.
Semua nama itu adalah ulama-ulama pesohor, sekalipun sudah senior mereka berguru kepada Aisyah, kepada perempuan yang dimuliakan. Terbukti para ulama dan intelektual serta tokoh-tokoh penting merasa perlu mencicipi madrasah Aisyah.
Selain itu Aisyah juga amat memperhatikan pendidikan anak-anak dan juga kaum perempuan, karena mereka itu membutuhkan asupan ilmu pengetahuan demi meningkatkan harkat kehidupannya.
Abdurrahman al-Baghdadi dalam buku Peristiwa Penting di Bulan Ramadhan menerangkan, Aisyah memiliki murid-murid perempuan dari kaum perempuan senior, mereka mengambil ilmu darinya, dan tidak ada perempuan yang lebih alim daripada murid-muridnya. Di antara mereka: Amrah binti Abdurrahman dan Hafshah.
Tidak ada pembatasan umur atau pembedaan jenis kelamin dalam madrasah Aisyah, siapapun dapat berguru kepadanya. Sehingga orang-orang pun berduyun-duyun mendalami ilmu dari Aisyah.
Tentunya ada kelebihan tersendiri yang membuat Aisyah menjadi guru favorit. Memang kita tidak dapat mengenyampingkan faktor kedalaman ilmu Aisyah dan kecemerlangan otaknya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan rumit. Namun, penting pula diketahui cara khas Aisyah dalam menunaikan tugas sebagai guru.
Salah seorang murid punya kisah yang manis dengan Aisyah. Sulaiman an-Nadawi dalam buku Aisyah mengisahkan, dalam sebuah riwayat, aku meminta izin untuk menemui Aisyah, lalu aku diizinkan. Aku berkata kepadanya, “Wahai Bunda, aku ingin bertanya kepadamu tentang satu hal, tapi aku malu mengucapkannya.” Dia berkata kepadaku, “Janganlah merasa malu untuk bertanya kepadaku tentang sesuatu yang biasa kautanyakan kepada ibu yang melahirkanmu, aku adalah ibumu.”
Luar biasa prinsip yang dipegang Aisyah selama menjadi pengajar, baginya guru adalah ibu. Sehingga tidak ada tembok pemisah antara dirinya dengan murid, karena kedekatan batin itu dibangun berdasarkan kasih seorang ibu kepada anaknya.
Bukan hanya berupa indahnya untaian kata, prinsip itu juga diamalkannya dalam kenyataan. Sulaiman an-Nadawi dalam buku Aisyah menyebutkan sesungguhnyalah memang Aisyah mendidik murid-muridnya seperti seorang ibu. Sifat ini jelas terlihat ketika dia mendidik Urwah, al-Qasim, Abu Salamah, Masruq, Ammarah, dan Shafiyah. Aisyah menyantuni anak-anak tersebut dan menanggung biaya mereka dari hartanya sendiri.
Lho, kenapa sosok guru yang diangkat malah Aisyah, yang notabene istri Rasulullah?
Apakah tidak ada sahabat perempuan Rasulullah lainnya yang menjelankan peran sebagai guru?
Tentunya ada.
Akan tetapi ada nilai plus ketika membahas peran Aisyah sebagai guru, karena dia adalah istri Rasulullah. Dengan demikian, bagi pihak-pihak yang melarang perempuan ke sekolah, entah itu sebagai murid apalagi guru hendaknya baik-baik memperhatikan sejarah.
Ketika Nabi Muhammad masih hidup, bukannya melarang atau menghalangi malahan beliau memberikan dukungan penuh. Bahkan Nabi Muhammad menjadi guru bagi istrinya dengan mencurahkan ilmu-ilmu yang bermanfaat.
Sekalipun tidak menjadikan diri berprofesi sebagai guru, tetapi hendaknya setiap muslimah memahami perannya sebagai madrasah, utamanya bagi keluarganya. Setiap perempuan adalah guru pertama bagi anak-anaknya, dan juga guru bagi peradabannya.
Dengan demikian, pada Hari Guru para muslimah pun bergembira karena perannya berjalan dengan sentosa.
KOMENTAR ANDA