SEBAIKNYA, rebutan hak asuh anak itu menjadi kabar bagus, terlebih bagi anak yatim piatu, yang tiada lagi berayah beribu. Kemana lagi bocah malang itu mencari tempat berlindung, andai tidak seorang pun yang sudi mengasuhnya?
Tidak dapat pula kita menutup mata, di mana banyak anak yatim piatu yang terlantar hidupnya, yang tersia-siakan karena orang-orang pada berlepas tangan dari hak asuhnya.
Dan kini, lagi hangat-hangatnya rebutan hak asuh atas anak dari pasangan pesohor tanah air yang meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Kematian suami istri yang menggemparkan itu tetap menjadi berita yang terus dihangat-hangatkan, lalu hak asuh anaknya pun menjadi berita yang terus digoreng media.
Antara dua kakek pun beradu kekuatan merebut hak asuh di pengadilan, apanya yang salah?
Tidak ada.
Kedua belah pihak sama-sama punya hak asuh, sama-sama berhak menempuh jalur hukum di pengadilan dan sama-sama menunjukkan kecintaan terhadap cucunya. Dan pengadilan adalah tempat yang tepat mendapatkan kepastian hukum, bagi siapapun yang bersengketa.
Bukankah itu hal yang benar?
Memang sih pengadilan dunia tidak ada yang sempurna, namun dari ketok palu di meja hijau itu kelak kedua belah pihak dapat menerima lapang dada keputusan hak asuh.
Bukankah kedua belah pihak telah all out berjuang di jalur hukum dan tidak perlu kecewa apabila gagal? Bukankah bagi pihak yang kalah tidak akan merubah apapun dari statusnya, karena dirinya tetaplah kakek yang berhak melimpahkah cinta kasih pada cucunya?
Lalu, kenapa dibikin heboh?
Ya, selama sesuatu itu masih seksi, maka pemberitaannya akan terus digelorakan, yang barangkali di antaranya juga berlebihan. Oleh sebab itu, hendaknya sebagai muslim yang lurus kita dapat menilai positif setiap upaya yang menempuh jalur hukum.
Lantas bagaimana dengan tiupan angin panas, di mana dicurigai berbagai polemik rebutan hak asuh tidak terlepas dari terbukanya peluang meraup cuan dari hak warisan si anak yatim piatu. Toh, dia hanyalah bocah lugu yang tiada berdaya, bagaimana pula dia akan mempertahankan hartanya kalau melindungi dirinya saja tidak mampu?
Untuk hal ini, marilah kita bersama-sama istighfar, semoga tidaklah terjadi hal yang demikian. Karena memakan harta anak yatim itu luar biasa kejinya.
Lagi pula, tanpa dapat hak asuh pun semua sanak keluarga tetap memiliki hak warisan sesuai dengan yang telah ditetapkan hukum Islam. Tidak ada salahnya bagi orang yang memang punya hak, lalu berharap dari pembagian warisan, karena itu memang haknya. Lepasnya hak asuh tidak perlu dikhawatirkan, toh masih ada Peradilan Agama yang akan menyelesaikan hak-hak warisan.
Jadi, marilah kita sama-sama meluruskan niat, yang mana rebutan hak asuh dalam rangka melindungi anak yatim piatu dengan memberikan penghidupan yang terbaik, dan lebih baik lagi kalau pembiayaan hidupnya memang berasal dari kantong kita sendiri.
Sejarah Islam juga teramat kaya dengan berbagai kisah inspiratif terkait hak asuh anak. Dan yang tak terbantahkan adalah Nabi Muhammad di masa kecilnya beberapa kali pindah-pindah pengasuhan.
Nabi Muhammad terlahir yatim, ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada usia 6 tahun, giliran ibunya yang wafat, dan jadilah Nabi Muhammad yatim piatu.
Pengasuhan beliau pun beralih ke tangan kakeknya, Abdul Muthalib yang menyayangi sepenuh kasih. Pada usia beliau ke 8 tahun, giliran sang kakek pun meninggal dunia dan Nabi Muhamamd pun hidup sebatang kara.
Anak sebaik budi pekerti Nabi Muhammad juga menjadi rebutan pengasuhan keluarga besarnya, paman-pamannya terutama yang tertarik padanya. Dan mengharukan, dari musyawarah keluarga pengasuhan Nabi Muhammad diserahkan kepada pamannya bernama Abu Thalib, padahal Abu Thalib justru paman yang relatif miskin dan punya tanggungan banyak anak pula.
Namun, pilihan pengasuhan Nabi Muhammad diserahkan kepada Abu Thalib sudah tepat, karena dia pribadi yang saleh, baik hati dan mampu mendidik dengan baik. Cocok dengan sosok Nabi Muhammad yang dipuja masyarakat Mekah dengan akhlaknya yang terpuji.
Kemudian, berkali-kali pula Nabi Muhammad mengeluarkan hadis-hadisnya terkait sanjungan bagi para pengasuh anak yatim.
Syaikh Sa'ad Yusuf Mahmud Abu Aziz dalam Ensiklopedi Hak dan Kewajiban Dalam Islam menyebutkan, dari Sahal bin Sa'ad, ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Aku bersama orang yang mengurus anak yatim begini. Beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah, dan merenggangkan antara keduanya." (HR. Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Ini hanyalah contoh keistimewaan yang akan diperoleh pengasuh anak yatim, di mana mereka akan bertetangga dengan Rasulullah di surga, punya hubungan yang dekat dengan beliau, seperti rapatnya jari telunjuk dengan jari tengah.
Dari itu tidak perlu pandangan miring ditujukan kepada pihak-pihak yang rebutan hak asuh, bahkan kita sebaiknya mendoakan siapapun yang menang dapat menunaikan amanah yang demikian berat dengan niat yang lurus.
KOMENTAR ANDA