DI ANTARA hal yang membuat kalangan intelektual tertarik memeluk ajaran Islam adalah tersedianya kebebasan yang luas bagi pemeluk-pemeluknya. Manusia diberikan free will free act (bebas berkehendak bebas berbuat).
Sampai di sini menjadi teramat membingungkan pandangan pihak-pihak yang menyebut Islam telah mengekang manusia, karena saking bebasnya, bahkan manusia pun diperbolehkan berprasangka kepada Tuhannya. Tidak mudah mencari tandingan kebebasan yang sebagaimana dihidangkan ajaran Islam ini.
Namun, kebebasan itu akan menerkam orang yang tidak bijak memanfaatkannya. Kebebasan itu diberikan Islam berbarengan dengan tanggung jawab, berikut pula berbagai dampak yang menyertainya.
Manusia tidak begitu saja terdampar di bumi ini, Allah telah membekalinya dengan akal pikiran. Otak manusia yang bagaikan komputer supercanggih ini juga mampu berimajinasi atau bahkan berprasangka, tidak terkecuali kepada Tuhannya.
Lho, kok bebas berprasangka kepada Tuhan?
Syaikh Majdi Abdul Wahab Al-Ahmad dalam buku Syarah Hisnul Muslim menyebutkan sebuah hadis, yang mana Rasulullah bersabda, Allah Ta'ala berfirman, “Aku selalu mengikuti prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku selalu bersamanya selama ia ingat kepada-Ku. Apabila ia ingat kepada-ku di dalam dirinya, maka aku pun mengingatnya di dalam Dzat-Ku, dan apabila ia ingat kepada-Ku di tengah-tengah rombongan, maka Aku pun mengingatnya dalam rombongan yang lebih baik daripada rombongannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatnya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, Aku akan mendekatinya sedepa. Dan jika ia datang kepada-ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari-lari kecil.”
Syaikh Salim pada Syarah Riyadhush Shalihin Jilid 2 menguraikan, perintah untuk berhusnudzan (berprasangka baik) kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya serta segera bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melaksanakan berbagai ketaatan.
Penetapan kebersamaan Allah yang bersifat khusus dengan orang-orang mukmin, yang mana konsekuensinya adalah pemeliharaan, penjagaan, pemberian taufik, pertolongan, dan dukungan.
Alangkah indahnya janji Allah yang diuraikan oleh hadis di atas, di mana Tuhan menjanjikan balasan yang lebih baik melebihi yang disangkakan hamba-hamba-Nya. Apabila manusia berprasangka positif pada Allah, maka hasil yang diperolehnya jauh lebih positif lagi.
Lalu bagaimana contoh konkrit dari berprasangka baik kepada Allah?
Syaikh Majdi Abdul Wahab Al-Ahmad pada buku Syarah Hisnul Muslim menerangkan, yang dimaksud dengan kalimat, “Sangkaan hamba-Ku kepada-Ku” ialah sangkaan dikabulkan ketika berdoa, sangkaan diterima ketika bertaubat, sangkaan diampuni ketika beristighfar, dan sangkaan diberi balasan pahala ketika melakukan ibadah berikut syarat-syaratnya, karena berpegang pada janji-Nya yang pasti benar.
Allah tidak menyeragamkan otak manusia, karena setiap insan harus bertanggung jawab dengan anugerah akalnya itu. Kebebasan berpikir hendaknya tidak membuat manusia itu celaka.
Ketika berprasangka buruk pada Allah dengan menyebut surga itu omong kosong, akibatnya ya jangan heran jika akhirnya kita terjungkal ke jurang neraka yang menyala-nyala. Itu kan sesuai dengan apa yang kita prasangkakan kepada janji Allah.
Ketika berprasangka buruk pada janji Allah dengan mengatakan rezeki teramat sempit, akibatnya ya jangan kaget kalau hidup kita susah terus. Itu kan sesuai dengan prasangka yang kita bangun sendiri terhadap janji Tuhan.
Oleh sebab itu, banyak-banyaklah berpikiran positif, apalagi terhadap Tuhan. Karena pikiran positif itu dampaknya justru kepada diri kita sendiri.
KOMENTAR ANDA