Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

TAK dapat disangkal, kasus kekerasan seksual pada perempuan trennya menunjukkan kenaikkan setiap tahun. Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional pada tanggal 10 Desember, Komnas Perempuan mengungkapkan sulitnya upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual yang marak akhir-akhir ini. Meskipun sudah ada penerapan konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) melalui Peraturan Gubernur Nomor 66 Tahun 2018.

Lonjakan pengaduan dialami oleh berbagai lembaga layanan, di sisi lain sumber daya pengada layanan terbatas untuk merespon dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan tersebut. Ditambah lagi kerap terjadi ancaman dan kriminalisasi terhadap pendamping korban.

Sebuah fakta tentang ranah privat ini dikemukakan oleh Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan  saat menjadi penanggap dalam diskusi publik IJRS bertajuk “Refleksi Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual” yang disiarkan langsung di kanal YouTube IJRS TV, Jumat 10/12 lalu.

Dalam kesempatan itu, Very mengatakan bahwa sejak tahun 2005, Komnas perempuan membentuk Unit Pengaduan untuk Rujukan (UPR).  Tim ini menerima pengaduan  dari korban atau pendamping yang bisa datang ke komnas atau pun lewat online dan dikirim melalui email.

“Kami melakukan rekapitulasi, data kasus terakhir ini telah terjadi pelecehan seksual sebanyak 2.775.042  kasus atau 760 kasus perbulannya, dan 32 kasus perharinya. Di antara kekerasan terjadi di tanah privat ataupun komunitas sebanyak 49.643 kasus,” ujar Very.

Ranah privat atau personal seharusnya menjadi tempat yang nyaman buat siapa pun terutama perempuan. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Ranah privat jutsru menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.

“Berdasarkan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2021, pelaku yang berstatus pacar ada 1.074 kasus, kemudian ada mantan pacar, lalu saudara atau kerabat,” ungkapnya lagi.

Dijelaskan oleh Very, catatan pada tahun 2020, Komnas Perempuan menunjukkan bahwa pacar merupakan pelaku paling banyak dalam kekerasan, bahkan mencapai 1320. Kemudian, diikuti dengan ayah kandung sebanyak 618 kasus. Kasus ini meningkat sangat tinggi dibanding tahun 2019, sebanyak 407 kasus atau naik sebanyak 350 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Berdasarkan data-data yang ada, Very menyimpulkan bahwa ruang aman bagi perempuan di ranah privat saat ini semakin diragukan. Karena, justru orang- orang terdekatlah yang menjadi pelaku kekerasan seksual.

“Saya pikir, ruang aman bagi perempuan yang seharusnya berawal dari rumah yang paling dekat ini menjadi diragukan, dan sekali lagi kalau melihat kasus modusnya makin beragam dan juga menyasar ke ranah lain seperti penyiksaan, pembunuhan, bahkan membuat korban stress hingga ingin bunuh diri seperti dilakukan NW di Mojokerto” ucap dia.

Diungkapkan juga banyak hambatan untuk korban mencari keadilan, diantaranya korban dilarang melaporkan kasus karena dianggap aib hingga korban diminta untuk bungkam saja, korban seringkali dilaporkan kembali oleh pelaku, tidak mendapatkan pedampingan, alat dan proses pembuktian yang diatur dalam KUHAP menyulitkan korban.

“Belum lagi jejak digital yang susah dihapus membuat korban ketakutan untuk melakukan pelaporan. Saya berharap pada tanggal 15 Desember nanti RUU Tidak Pidana Kerasan Seksual masuk  inisiatif DPR dan proses percepatannya pembahasannya dipercepat tapi juga mempertimbangkan esensi keberpihakan pada korban,” ujarnya.

 




Dukung Presiden Prabowo Bawa Ahli Medis India ke Indonesia, Andi Arief: Kasihan Rakyat Kecil Tidak Punya Jalan Keluar untuk Transplantasi Organ

Sebelumnya

Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News