Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

ADA-ada saja tingkah polah orang-orang superkaya, mulai dari yang tersesat di rumah sendiri yang saking luasnya (ketika ibu-ibu lain jungkir balik berpindah-pindah kontrakan); yang butuh pembantu mengupas buah salak (ketika emak-emak lain mampu mengupas kelapa dengan giginya) dan lain-lain.

Orang kaya sih bebas! Hidup mereka teramat sempurna, kira-kira begitu jamaknya pandangan khalayak ramai.

Di balik kesempurnaan hidup mereka yang superkaya itu terselip juga kisah-kisah mengiris-iris hati; ada yang gonta-ganti pasangan, ada yang gagal melulu rumah tangganya; banyak pula yang terjerumus kepada narkoba!

Publik bertanya-tanya, apa lagi yang kurang dalam hidup yang begitu sempurna? Kok masih nyasar ke lembah hitam? Dan yang tidak lucunya, mengapa sampai suami istri pula yang kompak memakai barang haram.

Tentunya ada saja alasan mereka, dan yang namanya alasan siapapun boleh percaya dan boleh pula meragukannya. Pasangan supertajir itu mengaku terjerumus narkoba akibat tekanan kehidupan, khususnya selama masa pandemi, terlebih lagi setelah kematian orangtuanya.

Panjang juga ya alasan yang diumbar, dan alasan-alasan itu ternyata juga lumrah dialami orang-orang biasa.

Siapa sih yang tidak tertekan akibat pandemi? Kalau orang-orang kaya dapat mengisi masa pandemi dengan kemewahan di rumah bak istana. Lain ceritanya dengan orang-orang miskin, selama pandemi mereka bertempur dengan perihnya lapar yang menggerogoti lambung, lapar yang teramat menyakitkan.

Orang-orang miskin juga didera kesedihan, yang dirundung lara tatkala kehilangan orang-orang tercinta. Dan mereka tidak pula punya uang untuk melarikan diri kepada narkoba. Amit-amit!

Dengan melihat tingkah polah mereka yang supertajir itu, dapatlah kita pahami bahwa tidak ada hidup yang sempurna. Lha, kita memang adanya di dunia yang tidak sempurna, maka kehidupan ini tidak mungkin diharapkan sempurna dong.

Namun, kebahagiaan hidup dapatlah diraih oleh siapapun, meski tidak perlu dengan bertabur harta. Karena kebahagiaan itu adalah perkara pilihan hati masing-masing.

Dalam fase demi fase kehidupannya, ternyata Nabi Muhammad lebih banyak masa kaya dibanding masa miskin. Ketika miskin beliau bersabar, saat kaya beliau banyak berbagi. Jadi, jangan antipati sama kekayaan, Islam menghalalkan kita kaya kok.

Sejarah Islam pun mencatat deretan konglomerat, yang tingkah polahnya juga unik-unik. Ada Utsman bin Affan yang pulang berbisnis dari Syam, keuntungan dagangnya dibawa oleh 1.000 unta.

Kemudian semua keuntungan bisnis disumbangkannya, demi membantu korban kelaparan di musim kemarau. Hebatnya, kemurahan hati tidak pernah membuatnya jatuh miskin, malahan tambah kaya dan tentunya makin bahagia.

Di era milenial begini, ulah orang superkaya juga tak kalah menarik. Pengusaha tajir asal Arab Saudi bernama Sulaiman bin Abdul Aziz Al-Rajhi memilih untuk menyumbangkan hartanya, dan memilih hidup miskin. Di dunia yang tidak sempurna ini, dia menyempurnakan kebahagiaan hidupnya dengan membebaskan hatinya dari belenggu materialisme.

Mrinal Nag dalam bukunya Reaching the Mirage Called Happiness (2020: 165) menyebutkan, kekayaan bersih Sulaiman bin Abdul Aziz Al-Rajhi sebesar 590 juta dolar dan donasi selama hidupnya sebesar 5.7 milyar dolar. Sulaiman Bin Abdul Aziz Al Rajhi salah satu pendiri Al Rajhi Bank di tahun 1957 bersama tiga saudara laki-lakinya. Bank tersebut menjadi salah satu bank terbesar di dunia.

Konglomerat mana yang mau meniru Al-Rajhi yang demikian uniknya dan menyumbangkan kekayaan demikian dahsyat lalu memilih hidup super sederhana atau malah miskin, atau singkat kata memilih miskin harta tapi kaya hati.  

Dalam hidup yang hanya satu kali ini, boleh kok kita melakukan tingkah polah yang unik atau mungkin dipandang ekstrim bagi kebanyakan orang. Akan tetapi, pastikan hal-hal tersebut tergolong sebagai perbuatan yang positif, yang memberi manfaat.

Dan jangan pula kita terpedaya dengan kekayaan, sehingga membuat kita terpenjara olehnya, yang merenggut prikemanusiaan pada sanubari, atau malah menyesatkan kita kepada hal-hal yang keji, semisal narkoba dan lainnya.

Jangan! Karena hidup yang hanya satu kali ini terlalu berharga apabila kita malah terpedaya, dibuai oleh kefanaan.

Sebagai penutup, ada baiknya direnungkan beberapa bait indah dari puisi karya Ikranegara berjudul Wirid Menjelang Fajar:

Telah kami baca At-Takasur
Lindungilah kami, ya Allah  
Agar kami tak tergolong orang-orang serakah
Yaitu mereka yang tak pernah bisa merasa puas
Yang sepanjang hidupnya senantiasa merasa kurang
Yang tak pernah bisa mensyukuri nikmat rahmat-Mu
Yang kerjanya hanya menimbun harta bertimbun-timbun
Di dalam gudang-gudang dan kantor bank
Bertebaran dari timur sampai ke barat
(dikutip dari Abdul Hadi W. M dalam bukunya Kembang Para Syuhada)
    
 

 

 




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur