Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

JELANG vaksinasi dosis ketiga (booster) tanggal 12 Januari, pemerintah masih menunggu rekomendasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) terkait jenis vaksin yang bisa didapatkan oleh masyarakat.

Rekomendasi tersebut akan menentukan apakah vaksin booster harus bersifat homologus atau menggunakan jenis yang sama dengan vaksin dosis pertama dan dosis kedua, atau heterologus—yaitu menggunakan jenis vaksin yang berbeda dari dua dosis sebelumnya.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa pemerintah menargetkan 230 juta dosis vaksin booster. Adapun hingga saat ini, pemerintah sudah mengamankan stok 113 juta dosis vaksin untuk booster.

Saat ini riset ITAGI masih berjalan untuk memastikan efektivitas vaksin. Jika hasil riset para ahli ITAGI menunjukkan setengah dosis Moderna atau setengah dosis vaksin Pfizer cukup menjadi booster, maka stok 113 juta dosis itu sudah dekat dengan target.

Riset ITAGI tersebut mengadaptasi perkembangan terkini dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan FDA Amerika Serikat.

Keduanya baru-baru ini mengeluarkan kebijakan seputar penggunaan setengah vaksin Moderna yang dianggap sudah mencukupi untuk dosis booster. Kebijakan CDC dan FDA tersebut dibuat berdasarkan laporan tentang KIPI (Kejadian Ikutan PascaImunisasi) yang cukup keras setelah vaksinasi Moderna.

Lalu bagaimana dengan kebijakan vaksin booster di negara lain?

Eropa

Sejak pertengahan tahun lalu, European Medicines Agency (EMA) dan European Centre for Disease Prevention and Control (ECDC) terus mendesak warga negara Uni Eropa untuk mendapat vaksin dosis penuh dan mematuhi rekomendasi terbaru tentang vaksinasi booster.

Dilansir laman resmi EMA, di Eropa semakin banyak studi klinis yang menunjukkan kemungkinan menggunakan dua vaksin COVID-19 yang berbeda. Baik untuk dosis pertama dan dosis kedua dari vaksin primer, yang dikenal sebagai vaksinasi primer heterologus, atau menggunakan dosis ketiga yang berbeda sebagai booster—3 hingga 6 bulan setelah vaksinasi primer.

EMA dan ECDC kemudian bekerja sama dengan para ilmuwan di Uni Eropa yang tergabung dalam COVID-ETF EMA telah meninjau bukti yang tersedia serta memberi rekomendasi teknis dan saran tentang vaksinasi heterologus, baik untuk dosis primer maupun booster.

Bukti dari penelitian vaksinasi heterologus menunjukkan bahwa kombinasi vaksin vektor virus dan vaksin mRNA menghasilkan tingkat antibodi yang baik terhadap virus SARS-CoV-2 dan respons sel T yang lebih tinggi daripada menggunakan vaksin yang sama (vaksinasi homologus) untuk vaksinasi primer dan booster, meskipun vaksin heterologus umumnya ditoleransi dengan baik.

Pada bulan Desember, EMA menyatakan bahwa bukti yang tersedia secara konsisten menunjukkan toleransi yang dapat diterima dan respons imun yang ditingkatkan dengan vaksin heterolog berurutan dari vaksin vektor/ vaksin mRNA vs vaksin vektor virus homolog.

Beberapa penelitian melaporkan reaktivitas lebih tinggi seperti deman, nyeri, sakit kepala, dan kelelahan setelah mendapat vaksinasi heterologus, namun tidak semua orang merasakannya. Reaksi tersebut jarang terjadi.

Suntikan heterologus mampu menginduksi respons imun yang meningkat signifikan termasu memori sel B dibandingkan suntikan homolog. Namun demikian masih dibutuhkan penelitian lebih jauh tentang vaksinasi heterologus untuk orang dengan imun rendah (immunosuppresed)

Amerika Serikat

Sementara itu, National Institute of Health (NIH) Amerika Serikat pada Oktober tahun lalu menemukan bahwa pendekatan “mix and match” vaksin pada dasarnya terbukti aman dan efektif. Vaksin Moderna dan Pfizer-BioNTech diketahui memicu respons sistem kekebalan yang lebih kuat dibandingkan Johnson & Johnson, dilansir NBC.

Pendekatan “mix and match” di atas mengacu pada pemberian vaksin dosis booster yang berbeda dari dua dosis vaksin primer.

Orang yang menerima dua dosis vaksin Johnson & Johnson akan memiliki antibodi yang lebih kuat jika menerima vaksin booster Pfizer atau Moderna, dibandingkan jika menerima vaksin Johnson & Johnson untuk ketiga kalinya.

Sementara mereka yang menerima vaksin Pfizer atau Moderna untuk vaksinasi primer dan menerima booster dari salah satu perusahaan tersebut, maka akan menghasilkan respons kekebalan yang sama kuatnya.

 

 

 

 




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News