SUASANA tegang itu membekukan semarak hari raya. Sesuai tradisi setempat, sesudah shalat Idul Fitri diadakan acara makan-makan bersama, sekaligus menjamu sang ustaz yang menunaikan tugas sebagai khatib.
Lho kok tegang! Bukannya Idul Fitri mestinya diliputi keceriaan, terlebih lagi makanan lezat telah terhidang?
Sebelum makan, sang ustaz didaulat untuk membacakan doa, yang akan diaminkan bersama-sama. Tiba-tiba saja seorang ibu-ibu menghidangkan tumpukan bara di sebuah wadah, menaruhnya di depan ustaz lalu menaburkan kemenyan, kemudian asap putih pun bertebaran.
Ibu-ibu itu beralasan, asap dupa itulah yang akan menyampaikan doa-doa kepada Tuhan. Pendapatnya itu didukung penuh oleh kalangan tua yang turut duduk bersila di sana.
Kalangan muda-muda menentangnya, asap kemenyan tidak akan berpengaruh apapun dalam doa. Salah-salah, kepercayaan itu dapat menjerumuskan kepada syirik. Nauzubillah min zalik!
Sang ustaz yang masih relatif amat muda dengan cerdik mencairkan suasana. Terlebih dulu dipujinya asap kemenyan yang membuat aroma ruangan menjadi harum.
Ibu-ibu itu tersenyum, orang-orang tua angguk-angguk kepala pula. Sang ustaz menghargai tradisi yang berlaku dalam masyarakat setempat. Namun, kalangan muda-muda makin tegang raut muka mereka.
Ustaz pun melanjutkan, doa itu tergantung niat kita, lalu keputusannya di tangan Allah. Tidak ada satu pun yang dapat menandingi kekuatan Allah dalam membuat keputusan diterima atau tidak sebuah doa.
Nah, giliran kaum muda yang ikut merekah senyumnya. Maka semua pihak angguk-angguk kepala, selesai berdoa mereka bersantap dalam nuansa riang gembira.
Pepatah minang menyebutkan, ibarat menarik rambut di tepung, rambut jangan putus dan tepung jangan berserakan. Begitulah kira-kira pentingnya kearifan yang dikedepankan tatkala berhadapan dengan tradisi lokal.
Sebelum Islam datang ke Nusantara, berabad-abad lamanya telah tercipta berbagai tradisi setempat. Dan di antara yang membuat Islam lekas diterima pribumi Nusantara adalah keramahannya, yang menghargai tradisi dan antikekerasan.
Insiden asap kemenyan itu terjadi puluhan tahun lalu, dan kini hampir tidak ada lagi tradisi tersebut. Mungkin secara bertahap masyarakat di daerah itu telah diberi pemahaman, atau barangkali mereka menemukan pengharum ruangan yang lain.
Baru-baru ini viral kejadian tendangan terhadap sesajen di gunung Semeru. Tendangan yang demikian dahsyat telah menimbulkan perdebatan sengit, pro kontra yang cukup seru. Jangan-jangan kehebohannya melebihi kegemparan akibat letusan gunung itu.
Mungkin saja niat si penendang itu ingin memurnikan lingkungan dari unsur-unsur yang dipandangnya sinkretis. Ini mungkin ya! Kan hati orang tidak ada yang tahu. Tetapi, aksi tendangan terhadap sesajen bukanlah kejadian sederhana.
Andai penyaji sesajen itu dan berikut para pendukungnya balik membalas dengan (maaf) menista hal-hal suci lainnya dalam agama Islam? Aduh, ini dapat terjadi huru-hara nantinya!
Hal inilah yang telah diperingatkan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 108, yang artinya, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”
Peringatan ayat ini amatlah terang, jangan memaki! Dan apabila memaki saja dilarang apalagi menendang ya, mas!
Ada dua aspek yang dapat dipertimbangkan dari kejadian ini:
Pertama, jika penaruh sesajen itu adalah nonmuslim, atau dari agama atau kepercayaan yang berbeda, maka kita harusnya memberikan penghargaan.
Caranya dengan mengamalkan prinsip lakum dinukum waliyadin, dalam surat Al-Kafirun ayat 6, yang artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”
Menghargai itu bukan berarti menyetujui, sehingga kita tidak perlu merasa terganggu dengan kepercayaan pihak lain. Justru sikap penghargaan yang kita tampakkan itu yang akan membuat Islam terlihat indah.
Kedua, apabila penyaji sesajen adalah muslim. Nah, kisah pembuka di atas tentang seorang ustaz dengan asap kemenyan dapat dijadikan rujukan. Betapa banyak sekali cara lembut yang lebih menyentuh hati, daripada melakukan sebuah tendangan.
Dampaknya itu menimbulkan sakit di lubuk hati, karena apa yang mereka lakukan adalah tradisi turun-temurun. Apabila dirasa perlu meluruskannya, maka gunakan cara-cara yang menggugah hati. Kalau kamu keras dan kasar, mereka akan lari dari dirimu.
Ketika Indonesia menjadi negara dengan jumlah penganut Islam terbesar sedunia, maka itu tidak terlepas dari model dakwah yang indah, alih-alih mengandalkan senjata bahkan malah menjauhi apapun model kekerasan.
KOMENTAR ANDA