MAU eksis? Ya, boleh!
Ingin cuan? Bagus dong!
Kalau dosa bagaimana?
Nah, yang ini jangan tentunya!
Mau bagaimana lagi, kini media sosial (medsos) telah merubah pola hidup umat manusia. Mula-mulanya sih ingin eksis! Cukup bermodalkan gerakan jari di ponsel, maka apapun tentang diri dapat disyiarkan.
Eksistensi diri didambakan oleh setiap insan. Bukan hanya di dunia nyata, tak terkecuali di dunia maya pun eksistensi diri diperjuangkan. Begitulah uniknya manusia, punya dahaga luar biasa terhadap pengakuan diri.
Dan semakin enaklah hidup di era milenial ini. Bagaimana bisa orang-orang yang cuma bermain medsos mendadak kaya? Memang aneh tapi nyata! Cukup bikin konten yang viral, maka rekening pun mendadak gendut.
Orang-orang dahulu kala menyarankan agar berdagang beras. “Itukan kebutuhan pokok!” alasan mereka. Karena itulah di situ pula harapan untuk tajir lebih terbuka.
Kini dapatkah kita menggolongkan medsos sebagai kebutuhan pokok, yang membuat orang tajir melintir dari merekam video ekstrim lalu mengunggahnya? Entahlah, makin banyak pertanyaan yang sulit terjawab untuk dunia yang makin kecil ini.
Untuk viral seseorang perlu membuat konten yang populer, yang kalau perlu ekstrim, dan sayangnya tidak jarang malah menabrak norma susila.
Padahal masih banyak jalan meraih eksis atau meraup cuan tanpa menambang dosa. Bahkan kita tidak perlu menjatuhkan harkat martabat selaku muslimah hanya demi diperbudak medsos.
Jilbabnya rapi. Hijabnya syar’i. Tidak ada aurat yang tersingkap, tidak ada bagian yang ketat mempertontonkan lekuk tubuhnya. Tetapi, di hadapan para undangan resepsi pernikahan, tiba-tiba ia pun menari meliuk-liuk bak ular disentrum listrik tegangan tinggi.
Videonya pun diunggah, lalu jagad medsos pun gempar. Dirinya viral. Lalu bagaimana dengan martabat hijab yang dikenakannya?
Entahlah!
Baik eksis apalagi cuan memang sama-sama menggiurkan, Saudara-saudara!
Dan mirisnya lagi, apabila sebagian muslimah tega auratnya pun disingkap, hanya untuk label viral, yang ujung-ujungnya demi eksis dan cuan. Ini jelas semakin menghadirkan banjir dosa.
Di atas godaan harta, ketenaran atau yang selainnya itu, sebagai muslimah kita pun bertanggungjawab dengan kehormatan hijab, dan tentunya jati diri. Dunia yang nyata ini saja hanyalah sementara, apatah lagi cuma dunia maya.
Ada peringatan pada surat Al-Isra ayat 36, yang artinya, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (2020: 288) mengungkapkan, terang di sini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilinginya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik.
Ini peringatan yang tajam sekali. Janganlah ikut-ikutan mencari viral, tanpa mempergunakan akal dan hati dalam pertimbangannya.
Sudah pasti nantinya kita akan berduyun-duyun pulang kampung. Nah, di kampung akhirat itulah akan diputar ulang segala tindak tanduk kita di mahkamah Ilahi. Jadi, lakukanlah apapun di dunia ini, yang nantinya akan membuat kita bangga tatkala menontonnya lagi di mahkamah akhirat.
Baik dunia nyata atau dunia maya, sama-sama membuat kita dapat jadi tontonan. Bedanya ada dong! Kalau kita berbuat konyol, salah atau dosa di dunia nyata, yang menonton segelintir orang saja, dan itu hanya sekali tayang.
Lain halnya kalau kekhilafan itu terunggah di dunia maya, yang menontonnya bisa orang sedunia, dan dapat diputar berulang-ulang kali. Dunia medsos membuat aib itu diumbar teramat dramatis, nyaris tak terkendalikan. Dan menjadi teramat ganjil kalau kondisi miris ini kita banggakan hanya untuk duit.
Mau kaya? Boleh dong!
Ingat lho, istri-istri Nabi Muhammad adalah deretan perempuan kaya. Khadijah memang sudah tak diragukan tajir melintir. Ada lagi Zainab seorang pengrajin kulit yang hasil cuannya membuat dirinya rajin bersedekah.
Ini artinya, kaya itu amat memungkinkan, tanpa mengorbankan harkat martabat identitas muslimah. Kaya tidak perlu membuat kita kehilangan hal yang paling berharga, yakni jati diri.
Bukankah jalan untuk jadi kaya itu amatlah banyak? Tidakkah cara-cara penuh keberkahan juga dapat menghasilkan cuan?
KOMENTAR ANDA