INDONESIA sejatinya adalah negeri impian.
Negeri gemah ripah loh jinawi, dengan tanah yang subur dan kekayaan alam nan melimpah. Seperti penggalan lirik lagu Koes Plus, kail dan jala cukup menghidupimu. Bukan sekadar syair lagu, karena memang menggambarkan betapa kayanya sumber daya alam negeri kita.
Pun dari sisi sosial, sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbanyak di dunia dan terdiri dari beragam suku, adat-istiadat, juga budaya, Indonesia dikenal sebagai negara yang luhur, damai serta menjunjung toleransi.
Keindahan alam dan keramahan masyarakat itulah yang menjadi daya tarik bagi warga asing. Mereka ramai-ramai datang ke Indonesia untuk berlibur sekaligus menikmati berbagai pertunjukan budaya dan kearifan lokal yang telah terkenal di mancanegara.
Tak berhenti sampai di situ, beragam budaya yang memiliki ciri khas masing-masing itu menghasilkan produk industri kreatif yang bernilai jual tinggi. Contohnya, ada kain batik dan tenun yang menjadi wastra adati kebanggaan bangsa yang diapresiasi dengan sangat baik di luar negeri. Adalah kewajiban kita untuk melestarikan kebudayaan Nusantara agar tetap menjadi identitas anak cucu kita kelak.
Namun bangsa ini menghadapi masalah dahsyat ketika gelombang pandemi COVID-19 menghantam di awal Maret 2020. Setelah sebelumnya kita membaca satu per satu negara di dunia ikut terpapar virus corona. Manusia yang selama ini menjalani hidup yang sedemikian sibuk, tiba-tiba dipaksa untuk melambat bahkan berhenti selama beberapa saat.
Setiap insan di muka bumi mengalami dampaknya. Di negara kita misalnya, pemerintah—mau tidak mau—harus membatasi pergerakan rakyat. Berbagai aspek kehidupan masyarakat, dari kesehatan, pendidikan, perdagangan, bahkan peribadatan, semua dibatasi.
Pembatasan itu bukan tanpa alasan. Pemerintah membatasi aktivitas sosial dan budaya semata demi memutus mata rantai penyebaran virus yang menyerang pernapasan ini. Mulai Alpha, Delta, hingga kini tiba Omicron. Kita juga dituntut untuk mematuhi protokol kesehatan yang telah ditata sedemikian rupa. Sekali lagi, itu semua demi kebaikan bersama.
Lelah? Sudah pasti. Entah berapa kali dalam sehari kita mencuci tangan saat beraktifitas. Entah berapa banyak waktu hilang untuk bisa saling berpelukan saat silaturahmi keluarga atau bertatap muka dengan rekan kerja karena kita wajib menjaga jarak.
Belum lagi masker yang menjadi “barang wajib” untuk dikenakan ke mana pun kita pergi. Terasa pengap bahkan kadang sesak, namun ini demi melindungi diri kita dan melindungi orang lain. Jika dulu sebelum pandemi masker dipakai untuk menangkal debu dan menghindarkan kita dari polusi udara, kini fungsinya bertambah penting: melindungi kita dari virus yang menyebar.
Selain banyak dan ketatnya protokol kesehatan yang digalakkan, pemerintah juga mewajibkan pencegahan virus melalui program vaksinasi. Meskipun vaksin tidak membuat tubuh kita kebal 100 persen terhadap virus, tapi vaksin menguatkan antibodi kita. Kalaupun kita terpapar, penyakitnya tak parah dan gejalanya akan lebih ringan.
Banyak di antara kita juga berubah ke arah yang lebih baik karena pandemi. Kita berlomba-lomba menjalankan gaya hidup sehat. Makan bergizi, berolahraga, dan beristirahat dengan cukup, membantu kita tetap sehat hingga imunitas tubuh menjadi lebih kuat untuk melawan virus dan berbagai racun yang masuk ke dalam tubuh.
Yang malas berolahraga, kini hobi olahraga. Salah satunya yang banyak dipraktikkan orang adalah jalan 10.000 langkah alias jalan kaki selama 30 – 45 menit setiap hari, dianggap efektif untuk menjaga kesehatan. Tapi tetap, kita mesti menjalankan protokol kesehatan selama beraktifitas di luar ruangan.
Jika kita sudah mengetahui bahwa berbagai pembatasan yang diberlakukan pemerintah semata demi kebaikan bersama, maka janganlah kita berkeras hati. Alangkah bijak bila kita mengikuti arahan pemerintah.
Dengan kita menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan, itu artinya kita sudah berjuang untuk memutus mata rantai virus corona. Itu artinya, dengan langkah sederhana, kita bisa melindungi diri sendiri dan orang lain. Keren, bukan?
Bagi sebagian besar kita yang saat ini harus kembali menjalani WFH (work from home) dan PJJ (pembelajaran jarak jauh) juga aktivitas lain dari rumah, marilah kita menikmatinya dengan penuh kesabaran. Berkurangnya mobilitas di luar rumah menjadi tambahan waktu yang diberikan Allah Swt. untuk kita berkumpul bersama keluarga. Ibadah pun hendaknya menjadi lebih optimal.
Pandemi menjadi cobaan bagi umat manusia, untuk melihat sejauh mana kita mampu menjalani dengan sabar dan ikhlas tanpa mengecilkan ikhtiar. Tetaplah kita ber-husnudzan kepada Sang Khalik. Mungkin gelombang demi gelombang pandemi ini menjadi isyarat bagi hamba-hamba-Nya untuk memperbanyak kuantitas juga menyempurnakan kualitas ibadah.
Yang harus kita lakukan adalah memetik hikmah dari setiap kejadian dalam fase kehidupan kita. Itulah yang menjadikan kita insan murah hati, rendah hati, dan banyak bersyukur. Hanya dengan bersyukurlah, hidup kita akan terasa tenang.
Jika bukan sekarang, kapan lagi kita mampu menyingkirkan ego demi kebaikan bersama?
Semoga Allah Swt. selalu menjaga kita dari segala mara bahaya. Semoga pandemi cepat berlalu, dan cobaan ini melatih kita menjadi hamba yang semakin banyak bersyukur. Wallahu a’lam.
KOMENTAR ANDA