KOMENTAR

PERNIKAHAN Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Rasulullah menimbulkan bisik-bisik tapi heboh bagi penduduk Madinah. Kemudian, dengan airmata berlinang-linang, Ummu Aiman mengadukan kepedihan hatinya kepada Nabi Muhammad.

Sebagaimana diceritakan oleh Sibel Eraslan dalam buku Fatimah az-Zahra (2014: 332):

“Semua orang di Madinah yang telah mendengar pernikahan Ali dan Fatimah akan dilangsungkan membicarakan soal mahar yang sedikit. Mereka berkata, 'Apakah pantas baginda az-Zahra hanya diberikan mahar sesedikit itu?”

“Semoga Allah tidak membuatmu menangis, wahai Ummu Aiman. Demi Allah yang telah mengutusku, aku bersumpah bahwa pernikahan Fatimah dengan Ali bukan karena keinginan nafsuku. Atas perintah Allah lah pernikahan keduanya dilangsungkan. Allah yang telah menghendaki pernikahan ini jauh sebelum kita menghendakinya. Saat berlangsung pernikahan Ali dan Fatimah, para malaikat berkumpul berucap selamat di alam Arasy. Seluruh bidadari juga melakukan perayaan yang sama. Jauh sebelum akad nikah berlangsung, Allah sendiri yang telah menitahkan akad nikah itu di alam Arasy sana. Janganlah engkau menangis, wahai Ummu Aiman!”

Apakah Rasulullah tergesa-gesa menikahkan Ali dengan Fatimah, sehingga muncul bisik-bisik tetangga terkait kecilnya mahar? Bukankah sebagai pemimpin besar dunia, tentu mudah bagi beliau punya menantu raja diraja nan kaya raya?

Jadi, apakah tergesa-gesa? Oh, tentu tidak!

Setidaknya ada dua pilihan yang dapat terjadi dalam mengusung agenda pernikahan; antara menyegerakan atau tergesa-gesa. Nah, menyegerakan bukanlah bermakna tergesa-gesa. Itu jelas berbeda ya!

Kalau menikah itu tergesa-gesa, maka yang muncul adalah malapetaka. Karena dua insan sebenarnya memang belum siap, tetapi berhubung lagi mabuk asmara maka pernikahan pun digegas. Begitu resmi menikah, keduanya tercengang kok manisnya cinta menjadi pudar, atau malah pernikahan berubah jadi bencana?

Pihak orangtua selaku wali hendaknya berhati-hati, jangan sampai menjadi bagian dari suatu langkah ketergesaan. Sebagaimana salah seorang ustaz kondang memberikan contoh cerita:
Seorang pemuda datang hendak melamar. Ayah anak gadis itu bertanya, “Apa sudah kerja?”
“Sudah!” jawabnya.
“Apa sudah cinta?”
“Sudah!” sahutnya.

Dengan semangat bergelora sang ayah menerimanya dan berseru, “Bungkus!”

Amat disayangkan, sang ayah malah terabai menanyakan, “Bagaimana kamu menjadikan agama sebagai pondasi keluarga? Apakah kamu telah mempelajari psikologi pernikahan, fikih munakahat, atau parenting? Apa pula prinsip kamu membangun hubungan pernikahan?”

Intinya, kesiapan lahir batin itu memang diperlukan, dan berbahaya jika tergesa-gesa, karena tidak semua cinta bermuara ke KUA (Kantor Urusan Agama).

Orangtua yang hendaknya berada dalam posisi penyeimbang tatkala anak-anaknya lagi mabuk kepayang. Ayah bunda benar-benar menjalankan peran menjadikan putra-putrinya memiliki kesiapan lahir batin.

Lalu bagaimana dengan konsep menyegerakan pernikahan?

Menyegerakan itu menunjukkan posisi kesiapan yang matang, hingga tidak ada alasan menunda-nunda lagi.

Kini niat menikah seperti dihadapkan dengan dua jurang menganga; pertama, apabila menikah dipercepat, maka takutnya malah tidak siap. Kedua, apabila menikah ditunda hingga matang, jadinya malah tidak kunjung menikah, sementara usia seperti berpacu.

Kalau terus menunggu dan menunggu, kapan menikahnya? Siapa sih manusia yang benar-benar cocok? Jadi yang ditunnggu-tunggu itu siapa? Kalau terus menunda-nunda, lalu siapakah itu orangnya yang benar-benar matang dan mapan?

Apapun tantangannya, maka persiapan dengan baik menuju KUA akan mempermudah segalanya. Semakin baik persiapan, akan makin minimal kesalahan.

Biasanya, dalam kondisi lagi mabuk asmara sudah cukup bagi orang-orang untuk berseru, “Kalau sudah begini, ya solusinya KUA!”

Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi tempat penting bagi dua insan demi cinta bermuara, yakni pernikahan. Namun, benarkah demikian?

Ya, KUA memberikan solusi. Akan tetapi pernikahan hendaknya ditegakkan di atas kesadaran, bukannya dalam keadaan mabuk, sekalipun itu mabuk kepayang.

Kembali pada kisah pembuka!

Nabi Muhammad memahami, Ali dan Fatimah sudah bersama sejak kecil. Semenjak di Mekah keduanya memendam perasaan yang suci, tetapi terjaga penuh kehormatan.

Namun, kesiapan menikah itu bukan soal perasaan suka, bukan pula tentang harta, tetapi tentang kesiapan lahir batin. Nah, kemudian barulah di Madinah pernikahan Ali dan Fatimah terselenggara, meski dengan mahar yang amat sederhana.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur