JANDA itu tidak bisa banyak gaya setelah kematian suaminya setahun lalu. Dia tidak lagi berharap hadirnya sosok pengganti, yang berminat turut memperjuangkan nasib anak-anaknya. Janda-janda muda tentu lebih memancarkan pesona, bahkan yang gadis-gadis bening pun melimpah. Sebagai janda paruh baya, dia cukup sadar diri.
Pertolongan sanak keluarga tidak dapat diharapkan, toh mereka juga dari golongan yang butuh bantuan pula. Habis gelap terbitlah terang, terbersitlah idenya untuk mencoba berdikari. Janda itu mengandalkan sebuah meja berjualan berbagai macam gorengan dan cemilan. Pangsa pasarnya menyasar anak-anak yang belajar mengaji di sebuah madrasah.
Meski yang dikumpulkannya hanyalah recehan demi recehan, tetapi sudah dapat menghidupi anak-anaknya. Kehidupan dengan teramat sederhana itu mampu membuat senyumannya merekah.
Ternyata usia senyumannya tidaklah lama. Muram durja kembali menggelayuti mukanya nan sendu. Janda itu tidaklah lagi berjualan, pemasukannya macet total. Apa perkaranya?
Harga minyak goreng yang terbang lebih dua kali lipat telah menghempaskan nasibnya. Seribu dua ribu rupiah harga cemilan sudah berat bagi anak-anak desanya untuk jajan. Mana mungkin dirinya menaikkan harga gorengan itu dua kali lipat, sama saja dengan mengusir pembeli.
Kabar baik sempat berhembus, minyak goreng telah dipatok di harga Rp 14.000 per liter. Ajaibnya, minyak goreng malah menghilang entah kemana. Kalau pun beruntung menemukannya, tentunya di harga yang masih menakutkan.
Apakah itu berarti telah terjadi kelangkaan minyak goreng?
Oh, belum tentu! Jangan terburu-buru membuat kesimpulan demikian.
Buktinya persediaan minyak goreng toh masih melimpah di restoran-restoran mewah, yang setia melayani kebutuhan perut kalangan berkocek tebal. Lagi pula, Indonesia adalah negara nomor satu produsen sawit sedunia. Indonesia lho yang juara dunia dalam bahan baku minyak goreng.
Namun, jika untuk kejujuran jangan-jangan kita belum juara. Termasuk langkanya kejujuran dalam suplai minyak goreng, yang terjadi karena banyak kepentingan yang bermain, banyak pihak pula yang mengeruk untung, dan jauh lebih banyak lagi rakyat yang menderita.
Pihak yang paling berwenang menangani kasus ini punya alasan yang bagus, memang di waktu-waktu macam beginilah harga minyak goreng naik, karena melejitnya permintaan pasar dunia. Sekilas masuk akal juga ya alasannya!
Nah, pertanyaannya, sudah tahu harga minyak goreng akan melambung, tidakkah terbetik pikiran untuk membuat plan A atau plan B agar stok minyak goreng bagi rakyat sendiri tetap tersedia? Tidakkah terdorong keinginan mengatasinya sebelum bencana nasional minyak goreng ini melanda? Apakah kita masih memakai jurus pahat, yang bergerak kalau sudah dipukul sama palu?
Harga minyak goreng di pasaran dunia memang teramat menggiurkan, jauh di atas harga di Indonesia. Apakah produsen sudah dengan jujur menyediakan kewajiban mereka menyediakan stok minyak goreng untuk rakyat Indonesia? Kalau memang sudah kok minyak goreng jadi barang langka?
Berbagai pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban dalam untaian kata-kata manis. Karena jawaban yang tepat itu hanya tatkala kita menyaksikan minyak goreng kembali hadir normal.
Melambungnya harga minyak goreng telah memukul ekonomi rakyat, dan mematikan dunia usaha kecil-kecilan (tetapi menjadi pertaruhan nyawa bagi mereka). Negara harus turun tangan melindungi kalangan yang tidak berdaya ini. Rakyat kecil tidak akan berdaya menghadapi entah itu mafia, kartel, spekulan dan lain sejenisnya.
Pantaslah sejarah teramat kagum kepada Umar bin Khattab, ketika negara Islam menjadi adikuasa atau superpower dunia, khalifah kedua ini mampu menciptakan stabilitas ekonomi untuk wilayah negara yang teramat luas. Manajemen pemerintahan Umar benar-benar tangguh dari berbagai aksi para spekulan, mafia dan sebagainya.
Di antara kebijakan Umar menunjuk pengawas pasar Madinah, yang teramat ditakuti ketegasannya. Petugas ini yang terus berpatroli dengan tongkat panjangnya mengawasi, menegur hingga menghukum keras para pelanggar.
Dan pengawas pasar yang legendaris itu adalah seorang muslimah, namanya Asy-Syifa.
Dia memperbolehkan siapapun berbisnis, tapi syaratnya adalah kejujuran. Ketika ada pedagang yang curang dalam kualitas produknya, Asy-Syifa pun menggebrak dengan tongkatnya. Usaha yang curang pun ditutup saat itu juga.
Karena berpikir yang dihadapi hanyalah perempuan yang dikira lemah, pedagang itu pun melawan. Khalifah Umar pun datang dan memarahinya serta mendukung penuh keputusan Asy-Syifa.
Abdul Syukur al-Azizi dalam bukunya Umar bin Khattab Ra. (2001: 262-263) menerangkan, pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab al-hisbah dihidupkan kembali dengan mendirikan lembaga khusus untuk mengurusnya. Asy-Syifa binti Abdullah diberi tugas untuk menjadi pengawas pasar di kota Madinah. Selain itu, Umar juga mengangkat Abdullah bin Utbah sebagai inspektur pasar sekaligus bertindak sebagai hakim (qadi).
Adapun tujuan pendirian hisbah terhadap mekanisme pasar ialah untuk menjamin kebebasan keluar masuk pasar, mengatur promosi dan propaganda, membuat aturan larangan menimbun barang, mengatur perantara perdagangan, pengawasan dan kontrol terhadap harga, sekaligus menentukan harga standar bagi produk-produk yang akan dipasarkan, serta pengawasan barang yang diimpor dan mengambil ushr (pajak sebesar 10%).
Negara memang perlu hadir melindungi hajat hidup rakyatnya. Kita dapat meneladani strategi Umar dalam pengawasan, dengan mengobarkan semangat kejujuran. Tanpa kejujuran, tragedi minyak goreng akan merambah ke berbagai sektor lainnya, yang muaranya makin mengguncang kehidupan rakyat.
Insyallah, bersama kejujuran pula akan tercipta pula keberkahan bagi negeri tercinta ini.
Agar dapat menggugah sanubari kita semua, ada baiknya diresapi pesan Bung Hatta, sebagaimana dikutip oleh Hamka dalam buku Pribadi Hebat (2020: 38):
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar, kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman, namun tidak jujur itu sulit diperbaiki.”
KOMENTAR ANDA