MENJAGA lisan adalah memang bukan perkara mudah. Hati manusia yang dipenuhi berbagai emosi kerap tak mampu membendung perkataan buruk keluar dari mulut. Dan perkataan buruk itu tak hanya bisa menyakiti hati orang lain tapi juga merugikan diri sendiri.
Perkataan yang keluar dari lisan seseorang bagaimana pun menjadi representasi orang tersebut. Apakah dia seorang yang bijak, seorang yang cerdas, seorang yang berakhlak mulia, seorang yang mencintai agamanya, atau sebaliknya.
Ya, lisan menjadi cerminan diri seorang manusia. Karena lisan berhubungan erat dengan apa yang ada dalam hati dan pikiran.
Karena itulah Rasulullah tak bosan mengingatkan kita untuk berkata baik demi menjaga habluminallah dan habluminannas.
Ada banyak perintah Rasulullah agar umatnya berhati-hati dengan lisan. Berikut ini dua di antara hadis beliau tentang keutamaan berkata baik.
Berkata Baik atau Diam
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaknya dia berkata baik atau diam." (HR. Muslim)
Ketika seorang mengaku beriman namun tidak mampu mengerem lisannya dari ucapan yang buruk, itu berarti ada yang salah dengan keimanannya.
Hadis Rasulullah tersebut menegaskan bahwa seorang mukmin yang yakin kepada Allah Swt. dan percaya akan datangnya Hari Kiamat, ia akan sekuat tenaga hanya berbicara hal-hal yang baik. Itulah hakikat dakwah sesungguhnya.
Jika takut kata-kata yang terucap akan menjadi sesuatu yang buruk, maka DIAM adalah sikap yang terpuji. Atau jika tidak memiliki perbendaharaan kata yang tepat untuk menggambarkan sesuatu, DIAM adalah solusi yang memperlihatkan kesantunan akhlak seorang hamba Allah.
Selamat dari Lisannya
"Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah, 'Siapakah Muslim yang paling baik?' Beliau menjawab, 'Seseorang yang Muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.'" (HR. Muslim)
Lidah tidak bertulang, karena itu 'luka' yang ditimbulkannya lebih sakit daripada fisik yang tertusuk tajamnya pedang. Luka fisik bisa disembuhkan. Setidaknya, lambat-laun, rasa sakitnya tidak akan terasa.
Namun luka yang diakibatkan tajamnya lidah, mungkin tak bisa disembuhkan. Meski ada yang mengatakan "waktu akan menyembuhkan" tapi jangan lupakan "forgive but not forget" yang terjadi pada banyak orang.
Karena itulah kata-kata yang baik menjadi satu akhlak mulia yang menandakan kesalehan seorang hamba Allah.
Hadis di atas menjelaskan bahwa ketika seorang yang mengaku Muslim namun lidahnya menyakitkan banyak orang di sekelilingnya atau bahkan menyebabkan kegaduhan sosial di tengah masyarakat, maka sejatinya ia masih harus terus memperbaiki keimanan, keislaman, dan ihsannya.
Sekali pun ia dikenal sebagai orang yang memiliki wawasan agama yang luas bahkan menyandang jabatan penting, ia bukanlah sebaik-baik Muslim.
Jika lidah terpeleset, janganlah menutupinya dengan gengsi. Meminta maaflah pada hati yang tersakiti.
Jika ada yang menegur, cernalah isinya, jangan menolak teguran karena melihat siapa yang berbicara.
Sebagai makhluk mulia, mari selalu mendengarkan nurani sebelum bertutur dan bertindak. Lidah begitu mudah mengucapkan kata-kata, yang jika tidak bijak dipakai untuk menggaungkan kebajikan, maka bersiaplah menjadi senjata makan tuan bagi yang mengucapkannya.
Lebih tegas lagi, Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti dalam Raudhah Al-'Uqala wa Nazhah Al-Fudhala menjelaskan sebagai berikut.
"Lisan seorang seseorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Jika ia ingin berkata-kata, ia akan bertanya dulu pada hatinya. Bila perkataan itu bermanfaat untuk dirinya, ia akan berbicara. Namun jika tidak bermanfaat, ia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Ia berbicara apa pun yang ingin diucapkan. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti ia tidak memahami agamanya."
KOMENTAR ANDA