SUATU keluarga terkena Omicron yang lagi menjalani isolasi mandiri. Para tetangga memberi respons yang positif, tidak ada yang menjauhi atau mengucilkan keluarga tersebut. Namun, tetap saja ada perbedaan dalam bersikap, yang kemudian menjadi pembeda antara simpati dengan empati.
Simpati:
Para tetangga itu mengatakan, “Kasihan!” Itulah respons mereka atas kemalangan keluarga yang terjangkiti Covid-19 tersebut. Tetapi baru sebatas kata kasihan, belum ada tindakan nyata. Sementara musik masih diputar kencang yang tentunya menganggu istirahat. Oh ya, ada sih bantuannya, yaitu berupa rangkaian doa semoga lekas sembuh.
Empati:
Para tetangga ini menunjukkan kesedihan bahkan saking mendalamnya sampai ada yang meneteskan airmata. Mereka mengharapkan kesembuhan dan keselamatan bagi keluarga yang terjangkiti Covid-19 itu.
Silih berganti makanan dan minuman ditaruh di depan pintu, agar keluarga yang lagi isolasi tidak kesulitan. Beberapa kali mereka menghubungi melalui ponsel, sekadar menanyakan kebutuhan yang diperlukan agar lekas sembuh.
Sikap positif saja tidak cukup, kita membutuhkan lebih banyak empati dalam menghadapi masa-masa sulit begini. Covid-19 hanyalah sekeping contoh, karena dalam kehidupan ini terhampar lautan kesempatan untuk menunjukkan kedahsyatan empati.
Apa sih empati itu?
Daniel H. Pink dalam buku A Whole New Mind (2019: 20) menerangkan, empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri sendiri di posisi orang lain dan merasakan apa yang orang itu rasakan. Ini adalah kemampuan memosisikan diri di tempat orang lain, melihat dengan mata mereka, dan merasakan dengan hati mereka.
Tapi empati bukan simpati --merasa kasihan pada orang lain. Empati adalah merasakan bersama orang lain, memahami seperti apa rasanya menjadi orang tersebut. Empati adalah tindakan imajinatif yang mengagumkan, virtual reality yang sesungguhnya-- mendaki pikiran orang lain untuk mengalami dunia dari sudut pandang orang tersebut.
Penjelasan di atas akan lebih mudah dicerna, dengan meresapi konsep yang mengagumkan dari apa yang diterangkan oleh Nabi Muhammad. Suatu perumpamaan yang akan menjelaskan posisi empati dalam kehidupan kita selaku umat Islam.
Seperti yang dicantumkan oleh Syaikh Abu Hamzah Abdul Hamid dalam buku 333 Mutiara Kebaikan (2013: 6) tentang hadis, diriwayatkan An-Nu'man bin Basyir berkata, Rasulullah bersabda, “Kamu lihat kaum mukminin dalam saling kasih sayang mereka, saling cinta mereka, dan saling belas kasih mereka seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuhnya sakit, maka anggota tubuh yang lain tidak bisa tidur dan demam.”
Dengan demikian indah Rasulullah mewasiatkan kepada umatnya agar membangun rasa empati yang teramat mendalam. Dapatkah anggota tubuh lainnya bersantai-santai, ketika misalnya kaki yang terluka tengah menanggung deritanya?
Begitulah perumpamaan sesama umat Islam dalam membuktikan empatinya, kita tidak akan bisa tidur nyenyak saat saudara yang lainnya tengah kemalangan. Apalagi jika kemalangan itu berhubungan erat dengan hajat penting dalam hidup manusia, seperti kelaparan, maka di sinilah kekuatan kaum muslimin diuji dalam bentuk empati.
Abdul Fattah As-Samman dalam bukunya Harta Nabi Sumber, Pembelanjaan, & Wakaf (2018: 60) menerangkan, Rasulullah menjadikan masyarakat itu kuat, terjamin, terdorong untuk memerangi kefakiran, dan membantu mereka. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.”
Sikap dan perilaku Rasulullah semacam ini sudah barang tentu efektif untuk menciptakan keamanan sosial. Dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mendasar semua lapisan masyarakat, di samping cinta dan kasih sayang di antara anggota masyarakat.
Begitulah pedoman itu telah digariskan oleh Nabi Muhammad, empati yang kita tunjukkan tidak terlepas dari bingkai kasih sayang.
Betapa bermanfaatnya empati di masa-masa berat seperti sekarang ini. Kita tidak cukup mengandalkan kata kasihan berlaka. Empati itu selain kedalaman rasa juga membimbing pada tindakan nyata.
Empati itu dapat kita tunjukkan dengan berbelanja semampunya, dengan membeli jualan para tetangga.
Lihatlah kini orang-orang sudah beramai-ramai berjualan di depan rumahnya sendiri, ini menunjukkan ada masalah dalam perekonomian bangsa.
Maka empati macam ini selain menjalin kehangatan hubungan, cara ini dapat pula menyelamatkan dari keterpurukan hidup.
Empati itu dapat dibuktikan dengan memuliakan para janda. Tidak mungkin kita terus memberi materi, dari itu empati dapat ditunjukkan bukan dengan mengasihani tetapi mendukung mereka dengan membukakan peluang usaha atau kerja baginya.
Maka empati macam ini bukan perkara perasaan mendalam tentang derita orang, tetapi memberinya kehormatan diri dalam kehidupan yang makin terjal tantangannya ini.
Boleh saja empati kita tujukan kepada para korban perang yang kini bergelimpangan di Ukraina dan lain-lainnya. Namun, empati kita menjadi amat berharga dalam menyelamatkan orang-orang di sekitar. Termasuk itu empati kepada para korban gempa atau banjir dan bencana lainnya.
KOMENTAR ANDA