Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

LONG COVID menjadi satu keluhan yang banyak dialami para penyintas COVID-19. Dan kini, dengan penularan varian Omicron yang super cepat, muncul kekhawatiran semakin banyak orang yang berkurang kualitas hidupnya akibat long covid.

Untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan long COVID dan Omicron, berikut ini penjelasan Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prof. Zubairi Djoerban yang diunggahnya pada akun Twitter @ProfZubairi (3/3/2022).

Sebenarnya berapa lama virus SARS-CoV-2 ada di dalam tubuh?

Rata-rata dua minggu hilang. Habis dan selesai. Tidak ada lagi virusnya. Tapi pada pasien yang di ICU, virus bisa bertahan sebulan. Setelah itu hilang.

Apakah istilah yang benar, Long COVID atau Post Covid Syndrome?

Sama-sama benar. Tapi orang Amerika lebih senang menyebutnya Post-COVID Syndrome.
Kenapa pada Long COVID gejalanya menetap lebih dari satu bulan?

Penyebab keluhan-keluhan itu ternyata bukan virusnya langsung. Ada beberapa teori. Misalnya timbul reaksi autoimun. Virus ini memacu kekebalan tubuh untuk salah bekerja.

Teori lain, SARS-CoV-2 mengaktivasi virus lain. Seperti Epstein–Barr (EBV). Aktivasi Epstein–Barr (EBV) ini menyebabkan gejala-gejala pada penyintas. Dan, mungkin sekali SARS-CoV-2 juga membuat reaksi inflamasi yang kemudian berlanjut.

Apakah sudah ada laporan penyintas varian Omicron yang mengalami Long COVID?

Ada dan memang terjadi. Hanya angka kejadiannya belum banyak. Gejala yang sering ditemui adalah brain fog. Beberapa tenaga kesehatan mengalami itu.

Apakah vaksin bisa mencegah Long COVID?

Penelitian memberi bukti awal bahwa vaksin dapat mencegah Long COVID atau setidaknya mengurangi tingkat keparahan. Namun tentu butuh penelitian lebih banyak lagi.

Gejala Long COVID pada Penyintas Omicron

Para ahli berpendapat masih terlalu dini untuk melacak long COVID Omicron karena varian tersebut baru terdeteksi pada November 2021. Meski demikian, CDC (Centers for Disease Control and Prevention) Amerika Serikat dan UKHSA (UK Health Security Agency) sepakat bahwa penyintas dikatakan mengalami long COVID jika gejala sudah berlangsung empat minggu atau lebih sejak pertama kali terpapar.

Namun Kepala Teknis Program Kesehatan Darurat WHO Maria Van Kerkhove menyatakan bahwa efek jangka panjang dari infeksi umumnya mulai terlihat sekitar 90 hari setelah gejala infeksi pertama hilang.

Dikutip dari Healthline, pakar penyakit menular Amerika Serikat dr. Anthony Fauci menjelaskan bahwa risiko long COVID akan selalu ada pada varian apa pun.

"Long COVID terjadi tidak peduli varian apa yang menularkan kita. Tidak ada bukti adanya perbedaan antara Delta, Beta, atau Omicron," ungkap dr. Fauci.

Sebelum Omicron, penelitian di Statens Serum Institut, Denmark pada September 2020-April 2021 terhadap 152.000 warga Denmark menunjukkan bahwa gejala long COVID-19 yang paling banyak dilaporkan adalah gangguan pada indra perasa dan penciuman serta kelelahan.

Beberapa ahli mengatakan bahwa kemungkinan long COVID bisa lebih rendah mengingat banyak kasus Omicron tidak menyebabkan inflamasi yang berat dan lama. Artinya, ada kemungkinan banyaknya jumlah pasien terkonfirmasi Omicron justru berbanding terbalik dengan jumlah penyintas Omicron yang mengalami long COVID.

 

 

 

 




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Health