Nadia yang sedang memerlukan pengobatan untuk penyakit kanker bersama Kira pasien pneumonia parah saat menjalani perawatan darurat di ruang bawah tanah RS Ukraina/ Foto: Al Jazeera
Nadia yang sedang memerlukan pengobatan untuk penyakit kanker bersama Kira pasien pneumonia parah saat menjalani perawatan darurat di ruang bawah tanah RS Ukraina/ Foto: Al Jazeera
KOMENTAR

PERANG menjadi sebuah mimpi buruk bagi anak-anak, tak terkecuali bagi anak-anak Ukraina. Banyak dari mereka telah berhasil melarikan diri ke luar negeri bersama keluarga dan kerabat. Namun tak sedikit pula yang masih terjebak di rumah dan apartemen mereka. Tidur dan makan di bawah ketakutan akan ancaman bom.

Beberapa dari mereka ada yang sedang dalam kondisi terlalu sakit untuk pulang atau melarikan diri. Mereka pun berlindung dari rudal Rusia di rumah sakit Kyiv.

Salah satunya, Nadia Tymoshchuk. Remaja putri berusia 14 tahun ini tak sabar menunggu pengobatan kankernya selesai. Dia merindukan rumah. Dia ingin memeluk kedua saudaranya dan bermain dengan kura-kura peliharaannya.

"Saya sangat merindukan mereka. Saya dulu marah pada mereka karena mereka sangat berisik," kata Nadia kepada Al Jazeera di ruang bawah tanah Rumah Sakit Anak 7 di ibukota Ukraina, Kyiv.

Sejak tahun 2019, Nadia telah berjuang melawan gliosarcoma, jenis kanker otak ganas yang langka. Namun kankernya baru-baru ini bermetastasis, menyebar ke organ atau jaringan tubuh lain. Hasil metastasis mulai menekan ginjalnya.

Nadia masuk rumah sakit untuk perawatan ginjal pada 9 Februari. Namun kini, sudah lebih dari seminggu dia dan Maryna, sang ibu, harus berada di ruang bawah tanah rumah sakit untuk berlindung dari rudal Rusia.

Ruangan kecil di bawah tanah itu hanya diterangi lampu luminescent yang berdengung. Nadia tinggal bersama lusinan pasien lain. Banyak petugas kesehatan yang menginap di sana. Penjaga bersenjata ditempatkan di pintu masuk rumah sakit.

“Kami muak dan lelah,” kata Maryna.

Nadia menghabiskan hari di rumah sakit tanpa sinar matahari, menjalani berbagai prosedur medis, istirahat, makan, lalu didera rasa sakit yang menyiksa. Dia sangat kesakitan dan kerap kejang-kejang.

Dan setiap hari kondisi mereka 'dirusak' oleh berita tentang pertempuran.

Rudal jelajah dan artileri Rusia menggempur pinggiran Kyiv – termasuk lingkungan keluarga Nadia di dekat stasiun kereta bawah tanah Akademgorodok, Kyiv barat.

Perlawanan sengit militer Ukraina dan “pertahanan teritorial” termasuk regu sukarelawan sipil berusaha meredam jumlah korban tewas dan berbagai kerusakan akibat invasi yang terus bertambah.

Meski demikian, perlawanan tidak selalu berarti ketenangan pikiran. Demikian pula dengan para tenaga medis dan anak-anak yang menjadi pasien di rumah sakit.

Para dokter di Kyiv pesimis dengan perawatan Nadia karena tidak ada rumah sakit di Ukraina yang bisa melaksanakan kemoterapi untuk pengobatan kankernya. Dokter menyuruh Nadia pergi ke luar negeri.

Sebuah klinik Italia telah menyetujui pengobatan Nadia. Apa daya, keberangkatan dengan kereta api ke kota Lviv di Ukraina barat dan seterusnya menuju Italia harus tertunda oleh evakuasi warga sipil dari Irpen yang memenuhi kereta menuju ke barat.

Tak Ada Tempat untuk Berlindung

Ketika perang dimulai, Rumah Sakit 7 merawat dua lusin anak. Kini hanya lima yang tersisa. Sebagian dari mereka tak punya tujuan untuk kembali.

Kira Rihtik (10) tiba di rumah sakit dengan pneumonia parah, tiga hari sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari.

Bagi keluarga Kira, gedung apartemen 8 lantai mereka di distrik Borshchahivka, Kyiv barat, terasa seperti magnet bom. “Ledakan sangat kuat hingga seluruh rumah bergetar,” kata ibu Kira, Mary.

Borshchahivka mengalami kekurangan makanan. Banyak penduduk lanjut usia diselamatkan oleh perbekalan yang dibawa para sukarelawan.

Pneumonia Kira bertambah parah karena menghabiskan tiga malam berlindung di tempat parkir bawah tanah yang membeku bersama sejumlah tetangga. Setelah itu barulah Mary berhasil membawa Kira ke rumah sakit.

Setelah perawatan selesai, Kira dan Mary seharusnya kembali ke Borshchahivka. Namun mereka takut meninggalkan ibu kota. Dan menurut Mary, tak ada tempat untuk tinggal di Lviv, kota di Ukraina barat yang menjadi pintu gerbang masuk ke Polandia.

 “Kami tidak punya tempat untuk pergi.”




Kementerian Agama Luncurkan Program “Baper Bahagia” untuk Dukung Ketahanan Pangan Masyarakat Desa

Sebelumnya

Fitur Akses Cepat Kontak Darurat KDRT Hadir di SATUSEHAT Mobile

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News