Nury Sybli, Praktisi Wastra Nusantara bersama para aktivis Perempuan Berkain menyerukan Stop Perang atas nama apapun karena perempuan dan anak-anak adalah korban yang paling menderita/ Foto: IKALUIN
Nury Sybli, Praktisi Wastra Nusantara bersama para aktivis Perempuan Berkain menyerukan Stop Perang atas nama apapun karena perempuan dan anak-anak adalah korban yang paling menderita/ Foto: IKALUIN
KOMENTAR

SEJAK tahun 1911, setiap 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau International Women Day (IWD). Momen ini didedikasikan secara global untuk merayakan pencapaian sosial, ekonomi, dan politik perempuan. Hal terpenting lainnya adalah untuk mendorong kesetaraan gender.

IWD atau Hari Perempuan Internasional ini juga menjadi titik fokus dalam gerakan hak-hak perempuan, yang membawa perhatian pada isu-isu gender, hak-hak reproduksi dan kekerasan seksual terhadap perempuan.

Tema global Hari Perempuan Internasional, 8 Maret tahun ini adalah “gender equality today for a sustainable tomorrow”, kesetaraan gender hari ini untuk keberlanjutan kita di masa depan. Tema ini merefleksikan betapa gentingnya kondisi bumi kita ini, dengan perubahan cuaca yang drastis, bencana alam, pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir, dst. Semua hal tersebut berdampak besar bagi keberlangsungan kehidupan, terutama bagi perempuan.

Departemen Pemberdayaan Perempuan dan Kesetaraan Gender Ikatan Alumni UIN Syarif Hidayatullah (IKALUIN) Jakarta dan Jaringan Aktivis Perempuan memperingati Hari Perempuan Internasional dengan berkain atau memakai wastra (kain-kain tradisi) dilengkapi tudung kepala yang berasal dari penjuru nusantara. Tujuannya adalah agar para perempuan di belahan dunia ikut melestarikan kain-kain tradisi yang dibuat oleh tangan-tangan perempuan yang prosesnya menggunakan bahan-bahan dari alam.  

“Bagi perempuan, wastra sarat makna.  Bukan hanya merawat kehidupan manusia dari sejak bayi tapi juga memberi rasa aman dan nyaman. Wastra yang berupa tenun, songket, ikat, pahikung, batik  juga merupakan simbol budaya yang membawa do’a dan harapan untuk kesejahteraan, ketenangan jiwa, pemulihan sampai pada alat perdamaian, “ terang Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Dep.Perempuan Ikaluin Jakarta.

Ada banyak pesan dan simbol yang bisa dipelajari dari setiap lembar kain yang dibuat para leluhur. Bagaimana mereka ingin dunia saling menghormati, saling menjaga dan hidup lestari satu sama lain baik sesama manusia maupun dengan hewan atau tumbuhan. “Seperti pada motif sarung pahikung dari pulau Sumba NTT, ada motif MAMULI yang berbentuk seperti kelamin perempuan,  dimaknai sebagai simbol kesuburan dari kelahiran manusia,” kata Nury Sybli, Praktisi Wastra Nusantara yang juga penggagas acara “Aktivis Perempuan Berkain”.  

Melalui kegiatan berkain ini, Nury menjelaskan, agar para perempuan lebih mengenali tentang kain-kain tradisi seperti tenun ikat, songket, pahikung, batik, sulam, dan keragaman tutup kepala atau tudung yang diwariskan leluhur.  “Dari penelusuran saya selama bertahun-tahun ke beberapa Propinsi, hampir semua daerah memiliki model tutup kepala dengan makna dan filosofi yang indah. Perempuan memakai tudung untuk bekerja kebun, membantu masyarakat, atau pergi ke pernikahan. Jadi tutup kepala sebagai bentuk kesahajaan selain juga kedaulatan, “paparnya.

Dalam kebudayaan masyarakat Nusantara, penutup kepala memiliki ragam bentuk dan nama serta cara pemakainnya. Kerudung, kudung, tudung, tengkuluk, kuluk, tingkuluak, saong, bulang, passapu, tukus, pote, pa’lullung, tatupung dan jong adalah nama-nama penutup kepala perempuan di sini.  Sejarah mencatat Tengkuluk atau Kuluk di Jambi sudah ada sejak abad ketujuh atau sejak kerajaan Melayu. Dalam budaya Minangkabau, penutup kepala disebut ‘tikuluak’ atau ‘tingkuluak’ dengan beragam bentuk dan gaya penggunaan sesuai daerahnya. Bukan hanya sebagai busana, di ranah Minang ada makna kuasa perempuan yang disampaikan secara simbolis dari penutup kepala mereka.

Pada perayaan IWD2022 yang diselenggarakan oleh IKALUIN Jakarta ini, para aktivis perempuan menggunakan aneka ragam busana daerah dengan tutup kepala nusantara seperti nama-nama tersebut diatas, kuluk, saong, dan lain-lain. Sedang kain yang digunakan berasal dari Sumba, Bima, Flores, Maluku, Nias, Karo, Toraja, Jawa, Jambi, Belitung, hingga Papua. “Kain-kain ini menjadi ruang perjumpaan keragaman. Ini refleksi sesungguhnya Indonesia.  Bukan hanya kain yang berwarna, tetapi kami yang hadir pada Hari Perempuan Internasional ini juga ada sahabat-sahabat dari lintas agama, lintas komunitas, lintas profesi. Tampilan kita hari ini adalah bentuk wajah Islam yang inklusif, yang mampu menghormati keragaman dan kekayaan tradisi,” papar Yuni, sapaan Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komnas Perempuan periode 2010-2014.     

“Karena perempuan adalah garda terdepan penjaga tradisi, akar dari peradaban,” imbuh Nury.  

Selain warna-warna yang beragam, pada wastra juga bisa belajar tentang keberlanjutan kehidupan di masa depan, komitmen merawat alam, ketekunan dan keteladanan. Dari sejarahnya tenun dibuat dari benang kapas, pewarnaan dari bahan-bahan alam seperti kulit akar mengkudu, serbuk kayu nangka, daun nila, kulit kelapa, daun mangga, kunyit, cabe, dan banyak lagi tanaman yang memberikan warna yang indah pada setiap lembar kain. 

Untuk itu kami menyerukan:

1) Menjunjung prinsip kesetaraan gender, perempuan dan laki – laki memiliki hak yang sama untuk berkarya, berkreasi, saling menghormati dan bebas dari segala bentuk kekerasan terutama kekerasan seksual. Untuk itu, 

2) Segera sahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) karena itu merupakan kunci negara memberikan perlindungan bagi perempuan dan kelompok rentan lainnya.

3) Turut merawat akar budaya dan keberagaman sebagai jembatan untuk merawat perdamaian di tingkat lokal, nasional hingga Internasional.

4) Stop Perang atas nama apapun karena perempuan dan anak-anak adalah korban yang paling menderita. 

5) Melibatkan perempuan dalam proses perdamaian.

Data United Nations Security Council (2020) menyebutkan hanya 3 dari 10 proses perdamaian melibatkan perempuan sebagai mediator atau pihak penandatangan. Studi menunjukkan, perdamaian tidak akan segera terjadi tanpa melibatkan perempuan.

Selamat Hari Perempuan Internasional 2022.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News