HARI masih pagi, ibu-ibu itu sudah datang berkunjung ke rumah. Ternyata besok peringatan Nisfu Sya’ban. Sebuah madrasah sederhana di perumahan hendak mengadakan perayaan. Seperti biasa utusan itu datang mengharapkan sumbangan ala kadarnya.
Tuan rumah tidak akan mengikuti perayaan Nisfu Sya’ban. Ya, siapa saja kan boleh berbeda pendapat, siapapun boleh setuju atau pun tidak, lagi pula toh tidak diwajibkan. Namun, selain turut menyumbangkan uang, penghuni rumah itu merasa teramat senang. Karena peringatan Nisfu Sya’ban telah membuat mereka lebih bersemangat menyambut hadirnya bulan suci Ramadan.
Tradisi Nisfu Sya’ban telah tercipta lama bersama berkembangnya peradaban Nusantara. Biasanya perayaan meliputi ceramah agama, pembacaan surat Yasin, memanjatkan doa-doa, berbagai pentas seni Islami, serta membangun suasana keakraban dengan makan bersama dan lain-lainnya.
Kaum muslimin dari etnik Jawa dan Sunda sebagai suku terbesar di negara ini sudah tidak diragukan lagi gempitanya dalam memperingati Nisfu Sya’ban. Dan ternyata kemeriahan itu juga melanda berbagai etnis lain yang turut menjadikannya sebagai tradisi.
Shinta Teviningrum dalam buku Kuliner Betawi Selaksa Rasa & Cerita (2016: 116) menceritakan, perayaan keagamaan lain yang juga dikenal dalam tradisi masyarakat Betawi adalah perayaan Nisfu Sya'ban. Perayaan ini digelar pada tanggal 15 Sya’ban menurut kalender Hijriah. Dikenal juga dengan sebutan perayaan Rowahan.
Nisfu Sya’ban digelar dalam rangka menyambut dan mensyukuri datangnya bulan Ramadan. Juga sebagai sarana mendoakan arwah para kerabat agar diampuni dosa-dosanya.
Etnik Muna adalah salah satu etnik di Sulawesi Tenggara, yang cukup menonjol dengan berbagai perayaan keagamaan. Ardianto, dkk. dalam buku Tradisi Katoba Pada Masyarakat Etnis Muna: Makna, Nilai, Dan Strategi Pelestariannya (2020: 13) menerangkan, peringatan basahae sifu (Nisfu Sya’ban) di bulan Sya’ban, yaitu membacakan surat Yasin 3 kali dan doa Nisfu Sya’ban setiap kalinya, dengan niat memohon umur yang panjang, rezeki yang melimpah dan halal, iman yang kuat.
Muslimin Indonesia boleh saja merasa telah lama dengan gempita memeriahkan Nisfu Sya’ban, tetapi umat Islam di negeri ini bukanlah yang pertama dan tidak pula satu-satunya. Kalangan Tabi’in yang merupakan generasi kedua setelah Nabi Muhammad dikabarkan sudah lebih dulu mengagungkan Nisfu Sya’ban.
Abdul Somad dalam buku 37 Masalah Populer Untuk Ukhuwah Islamiyah (2015: 185) menerangkan, Imam al-Qasthalani menyebutkan, “Sesungguhnya kalangan Tabi’in negeri Syam seperti Khadil bin Ma’dan dan Makhul bersungguh-sungguh menghidupkan malam Nisfu Sya'ban dengan ibadah. Dari merekalah orang banyak mengambil pengagungan malam Nisfu Sya’ban.”
Tabi’in termasuk kalangan Salaf, artinya sejak zaman Salaf telah ada pengagungan malam Nisfu Sya’ban.
Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan Tabi’in lain pada malam Nisfu Sya’ban itu memakai pakaian terbaik, memakai harum-haruman, memakai celak, mereka menghidupkan malam Nisfu Sya’ban di masjid.
Perayaan Nisfu Sya’ban sejauh ini masih mengadakan kegiatan-kegiatan yang positif. Bukankah ceramah agama, bacaan Al-Qur’an, memanjatkan doa, pengajian, hingga sedekah makanan termasuk amalan yang berpahala?
Namun, tak dapat dipungkiri kalau perayaan Nisfu Sya’ban masih menjadi pro kontra. Itu wajar-wajar saja! Lagi pula, kita tidak dalam posisi mendamaikan pro kontra, terlebih lagi agama memang memperbolehkan perbedaan pendapat.
Terlepas dari itu semua, sebagaimana dalam kisah pembuka, pihak yang tidak merayakan Nisfu Sya’ban pun dapat memetik hikmahnya. Perayaan itu menjadi pengingat bagi kita semua bahwa Ramadan sudah teramat dekat. Bulan suci yang dinanti-nanti tinggal mengitung hari.
Dengan demikian, masih terhampar kesempatan bagi kita untuk lebih mempersiapkan diri menyambut limpahan berkah di bulan suci. Bagi yang belum melunasi hutang-hutang puasa tahun lalu, masih ada kesempatan menuntaskannya setengah bulan ke depan.
Persiapan juga dapat dimaksimalkan agar benar-benar siap menyongsong Ramadan, seperti persiapan menu sahur dan iftar, persiapan khatam Al-Qur’an, persiapan iktikaf, persiapan tarawih dan lain sebagainya.
Anggaplah Nisfu Sya’ban sebagai hitung mundur menyambut kesyahduan nan dinanti di bulan suci. Sehingga kita pun makin positif dalam memandang peringatan Nisfu Sya’ban.
KOMENTAR ANDA